Tentang Saya

 

dokumen pribadi


Tiada Perjalanan Hidup Tanpa Tulisan

Barangkali pengalaman menulis selalu memiliki penafsiran yang berbeda-beda bagi setiap orang. Namun, ada satu hal yang niscaya dari pengalaman menulis setiap orang, yakni menulis untuk keabadian. Sebab, menulis sebagaimana yang diungkapkan oleh Helvy Tiana Rosa ialah memperpanjang usia.

Menulis untuk keabadian adalah salah satu kalimat ajaib Pramoedya Ananta Toer yang saya renungkan perlahan-lahan. Karena saya menyadari kalau sejatinya hidup adalah tentang mengabadikan segala hal yang pernah dialami maupun dirasakan sebagai seorang manusia yang berdinamika dengan realitas hidup. Hal ini yang menjadi asal muasal yang menggerakkan saya untuk harus menulis. Menuliskan segala kebisingan di kepala yang bermunculan sepanjang hidup.

Menuliskan segala hal yang tak bisa diungkapkan oleh lisan yang kerapkali dihadang ketakutan maupun kebingungan untuk menyuarakan segala kebisingan tersebut. Dan, gejolak untuk membebaskan kebisingan kian terdengar, saat saya mulai berinteraksi dengan aneka buku-buku yang telah menjadi kawan akrab saya semasa mengenyam pendidikan S1.

Di bangku kuliah, gejolak untuk menulis kian berapi-api, tapi tak dibarengi dengan medium yang paling tepat untuk mengabadikan gejolak tersebut hingga hanya berakhir di ruang-ruang diskusi kecil-kecilan yang berlalu begitu saja seiring dengan bergegasnya angin mengembara. Tak membekas dan terlupakan saat diri saya mulai disibukkan dengan segala cerita pada masa tersebut.

Namun, ada satu hal yang tetap pasti. Yakni menuliskan kegelisahan saya seorang diri pada sebuah buku yang telah beberapa tahun telah saya lakoni. Saat telah berada di halaman terakhir buku, saya akan bergegas ke toko untuk membeli buku baru. Sayangnya, buku yang saya cari sebagai teman berbagi cerita tersebut tak lagi dijual di toko tersebut.

Hal yang saya mau atau tidak saya terima begitu saja. Pelan-pelan, saya mulai menuliskan kegelisahan saya di layar laptop, setelah sebelumnya hanya dijadikan medium untuk mengikuti tantantangan menulis di media sosial Instagram. Saya berusaha untuk mengulik blog untuk dijadikan rumah yang bisa menampung kegelisahan secara lebih bebas, karena tak dibatasi jumlah kata sebagaimana di Instagram. Awal-awalnya, hanya berisi curahan hati saya sebagai perempuan yang kala itu mengalami fase quarter life crisis.

Sebuah fase yang berhasil membuat saya mengalami naik-turun kepercayaan pada diri sendiri. Fase yang terbilang cukup menguras psikis saya sebagai perempuan yang tidak percaya diri untuk melindungi diri sendiri. Melindungi diri sendiri dari keraguan, kebencian, kegagalan maupun menyalahkan diri sendiri atas hal-hal yang terjadi di luar kendali diri.

Fase yang akhirnya mengajarkan pada saya untuk harus bisa ‘survive’ di belantara kehidupan antara yang riil dan ekspektasi saling berkelindan satu sama lain. Tentu bukan hal yang mudah, kadang kalau mau diingat kembali, saya ingin memeluk diri sendiri karena sudah mau memberi kepercayaan pada diri sendiri untuk terus bertahan.

Dan, setiap tulisan yang membanjiri halaman demi halaman buku maupun layar laptop adalah saksi bisu perjalanan saya sebagai pembelajar di alam semesta-Nya. Tulisan-tulisan yang mengingatkan diri akan ketiadaan. Bahwa sejatinya, apa yang kita miliki bukan milik kita, maka keterikatan yang mendalam pada segala hal di luar diri adalah hijab dalam mengenali diri sendiri.

 

Apa yang Ingin Tuliskan?

dokumen pribadi

Dari sinilah, seorang Hilda Fpon—tak lain dan tak bukan adalah diri sendiri ingin menuliskan pengalaman dan perenungan saya dari sudut pandang seorang perempuan sekaligus manusia dalam menafsirkan hidup. Sebagai perempuan, saya menyadari kalau segala peristiwa yang terjadi, tak hanya dilihat dari kacamata maskulin, melainakan juga harus dilihat dari kacamata feminin alias dari sudut pandang perempuan. Sebab, saya menyadari kalau pengalaman perempuan adalah suatu pengetahuan yang niscaya.

Terlahir sebagai perempuan adalah anugerah, tapi pada sisi yang lain saat diperhadapkan dengan fakta di realitas, saya menemukan tidak semua perempuan diberi ruang untuk menyuaraakan pengalaman hidup mereka sebagai perempuan yang niscaya sebagaimana apa adanya. Keterbatasan akses maupun berbagai faktor laiinya menjadi penghalang tak kasatmata bagi sebagian perempuan untuk benar-benar mengenali diri mereka sendiri.

Selain itu, saya ingin menulis sebagai cara saya untuk berbagi cerita pada sesama—kalau mereka tak seorang diri dalam mengalami gejolak hidup yang kerapkali berhasil mengurai tawa dan senyum pada wajah dengan airmata yang terus membanjiri tiada jeda. Percayalah, setiap orang butuh ruang aman dan teman berbagi. Berbagi cerita yang kadang menguatkan mereka untuk tetap bisa ‘survive’ dalam mengembarai belantara kehidupan.

 

Tentang Hilda Fpon


Seorang perempuan yang dilahir dan tumbuh besar di Timur Indonesia. Sepanjang hidupnya, belum pernah sama sekali mengembarai di luar tanah kelahirannya sebagai seorang perantau. Walaupun sebenarnya, ada keinginan untuk bisa sesekali menjadi perantau di negeri seberang untuk mengarungi pelajaran hidup seorang diri. Walaupun begitu, ia lebih sering merantau melalui buku-buku bacaan hingga beragam artikel yang tersaji di dunia maya.

Ia menyukai pantai yang selalu berbagi cerita tentang laut—sarat kebebasan sekaligus ketangguhan untuk menjadi mahluk hidup yang senantiasa legowo menerima apa yang diberikan oleh hidup. Ia juga perempuan yang menyukai warna kuning, yang sedang berusaha untuk menyukai warna ungu yang diidentikkan pada hal-hal yang bersifat spiritual.

Bagi seorang Hilda Fpon, menulis adalah caranya berbagi dan bercerita saat ia menyadari kalau tak semua orang mau mendengarkan beragam ceritanya. Baginya, menulis telah menjadi dunianya sendiri. Saat menulis, ia kadang seringkali lupa pada hal-hal yang ada di luar dirinya.

Ia ingin membahagiakan dirinya dengan menemukan dirinya yang lain dari tiga hal yang paling disukainya yakni; membaca, menulis, dan menonton film/drama. Sebagai seorang introvert, tiga hal inilah yang membuatnya bebas memiliki dunianya sendiri.

 

Rencana Untuk Blog Pada Masa Mendatang

Saya ingin memiliki domain yang bertuliskan www.hildafpon.com dengan tagline Menulis Pengalaman Perempuan Sebagai Ikhtiar Mengenal Perempuan Sebagai Manusia. sebagai rumah untuk saya berbagi pengalaman dan perenungan diri sendiri. Kenapa harus memakai nama hildafpon? Karena itu adalah nama dan nama marga dari diri saya sendiri yang telah disingkat. Selain itu, ini adalah nama yang paling sering menjadi nama akun media sosial saya.

 

 

Komentar

Postingan Populer