Ulasan Buku Perempuan dan Perburuan Penyihir

 

Penerbit Independen


Ketika mendengar kata “penyihir”, pikiran kita pasti akan membayangkan seseorang perempuan tua jahat dengan wajah menakutkan. Gambaran tersebut sebenarna keliru. Silvia Federici dalam buku ini menunjukkan bahwa iblisasi penyihir merupakan bagian dari pendisplinan dan pengekangan seksual untuk membuat perempuan patuh. Penyihit dalam makana sebenarnya adalah bidan (dukun bayi) atau peramal, tetapi makna itu berubah seiring dengan proses pembunuha puluhan ribu perempuan di Eropa pada abad ke-14 hingga ke-16. Para perempuan dibunuh karena mengancam kapitalisme yang sedang tumbuh. (Blur Perempuan dan perburuan penyihir)

Ini kali pertama membaca buku yang membahas tentang penyihir. Selama ini, saya berpikir yang kerapkali terjadi di semua belahan dunia adalah anggapan bahwa perempuan adalah masyarkaat kelas dua maupun makhluk yang inferioritas. Namun, melihat argument silvia tentang perempuan dan perburuan penyihir akan membawa kita untuk melihat ketiadilan yang dialami oleh perempuan.

Jujur, selama ini saya hanya berpikir bahwa penyihir hanya identik dengan film maupun serial yang bergenre fantasi. Namun, membaca buku ini saya seperti untuk melihat benang merah antara perempuan dan sosok penyihit yang salama ini diidentikkan pada kaum perempuan daripada kaum lelaki. Bahkan, di dalam film maupun serial tokoh yang kerapkali menjadi penyihir adalah perempuan.

Buku ini memberi perspektif tentang stigma penyihir pada kaum perempuan dari kelompok menengah ke bawah sebagai sosok penyihir. Bahkan, pada abad 14 s/d 16 silam yang lalu, eksekusi perempuan dengan tuduhan penyihir gencar dilakukan di Eropa yang didalangi oleh orang-orang tertentu maupun lembaga.

Hampir sebagian besar perburuan penyihir terjadi pada wilayah yang dijadikan target untuk pengambilalihan lahan. Kebanyakan perempuan yang dituduh sebagai penyihir adalah perempuan yang berusia tua, ditinggal mati sang suami, atau seorang diri dan memiliki kepemilikan atas lahan yang kerapkali menjadi objek tuduhan sebagai penyihir. Karena, perempuan yang dianggap berani menentang sistem maupun memilih bersuara daripada bungkam dianggap sosok yang berbahaya dan akan merugikan kalangan yang memiliki kepentingan akan akses tanah dalam suatu wilayah tertentu.

Menurut penulis, kita harus memandang bahwa pemagaran tanah sebagai fenomena yang lebih luas daripada sekadar pembangunan pagar pembatas, akan tetapi meliputi pula pembatasan atas pengetahuan, atas tubuh kita, serta hubungan sesama manusia dan alam.

Bahkan, penulis juga menyampaikan bahwa pada abad 14, perempuan memilik peran sentral sebagai dukun yang berpengaruh pada komunalnya. Dan juga, perempuan memiliki kedekatan dengan alam. Praktik perburuan penyihir yang digaungkan adalah salah cara untuk memperlemah kedudukan perempuan baik secara struktural maupun moral, dengan memberi pelabelan negatif yang dilakukan oleh lembaga institusi yang paling berpengaruh. Apalagi juga didukung oleh sistem kapitalisme yang saat itu sedang berkembang.

Perempuan mengalami proses marginalisasi dari ruang-ruang publik. Kemudian dipaksa untuk tunduk pada sistem yang tak mengakomodir peran perempuan dalam komunal. Perempuan dipaksa hanya diam diri sepanjang hari dan menjadi istri yang mampu melayani suami dengan ketundukan mutlak, tanpa perlawanan.

Ada hal yang menarik yang saya temukan di pembahasan bagian 5, yang menjabarkan singkat tentang gosip. Selama ini, hampir sebagian besar orang beranggapan gosip cenderung berkonotasi negatif dan direkatkan pada kaum perempuan. Di dalam buku ini, dijelaskan kalau di Inggris pada awal era modern, kata ‘gosip’ mengacu pada sahabat atau orang yang menemani saat melahirkan dan tidak terbatas pada bidan. Itu juga merupakan istilah yang ditujukan pada teman perempuan tanpa dengan makna netral. Namun sayangnya, seiring dengan perburuan penyihir, makna gosip pun mengalami pergeseran makna berkonotasi negatif. Semisalnya, sumber fitnah, menyebarkan kata-kata bohong dan mempresentasikan bentuk rasa iri pada seseorang yang dijadikan objek obrolan.

Selain menggambarkan perburuan penyihir di Eropa, penulis juga mengemukakan fenomena perburuan penyihir di Afrika. Di Ghana ternyata memiliki kamp untuk penyihir. Dan penulis juga mengkritik tentang masih minimnya pembahasan tentang perburuan penyihir. Padahal perburuan penyihir yang dialami oleh perempuan juga dikategorikan femisida atau pembunuhan massal hanya karena berjenis kelamin perempuan.

Lebih daripada itu, buku ini menyoroti fenomena perburuan penyihir sebagai bagian dari upaya perebutan lahan maupun pengambilalihan lahan. Hal yang cukup merugikan perempuan, karena dipaksa terasing dari komunal. belBelum lagi dengan orang-orang misogini menyebarkan ketakutan penyihir yang dapat merugikan kaum perempuan pada masyarakat untuk turut serta menyakini dalih tersebut.


Perempuan dan Perburuan Penyihir | Silvia Federici | Penerj. Linda Sudiono dan Nolinia Zega | Penerbit Independen | 2020

Komentar

Postingan Populer