Buya Hamka: Ulama Karismatik Dari Danau Maninjau

 

Sumber Historia

“Membaca buku-buku yang baik, berarti memberi makanan rohani yang baik.”

—Buya Hamka

 

Bagi sebagian besar orang, film berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang mengisahkan romansa antara Zainudin dan Hayati, menjadi salah kisah yang begitu mengharu-biru dan membekas dalam ingatan. Sebuah kisah yang turut dibersamai dengan pesan-pesan moral nan religius agama yang diselipkan dalam laku karakter dalam diri tokoh utama. Film yang diangkat dari Novel dengan judul yang sama terbitan tahun 1938 tersebut merupakan salah satu novel karangan Hamka—nama pena dari seorang ulama, aktivis, dan sastrawan Indonesia.

Nama pena Hamka berasal dari singkatan nama lengkap dari seorang cendekiawan muslim Indonesia, Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah—biasa disapa Buya Hamka. Lahir pada tanggal 17 Februari 1908 atau 14 Muharram 1326 H di Tanah Sirah, kini masuk Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia merupakan anak dari pasangan DR. Syaikh Abdul Karim Amrullah dan Safiyah.

Ayah Buya Hamka—biasa dikenal dengan sebutan Haji Rasul merupakan tokoh pelopor dari Gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau pada tahun 1906 setelah kembali dari Mekah. Sebuah gerakan yang menentang ajaran Rabithah, yakni gerakan yang menghadirkan guru dalam ingatan, sebagai suatu cara yang ditempuh oleh penganut tarekat apabila telah memulai mengerjakan suluk. Pada masa tersebut, lahirlah Abdul Malik—nama kecil Buya Hamka yang telah tumbuh dengan terbiasa menyaksikan perdebatan sengit di antara kaum muda dan kaum tua dalam menyikapi urusan keagamaan.

 

sumber Wikipedia

Masa Kecil

Pada masa kanak-kanak, sebagaimana tradisi anak-anak laki-laki di Minangkabau, ia juga belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Selain itu, sebagaimana lazimnya kedekatan antar anggota keluarga, Hamka begitu dekat dengan anduang atau neneknya yang bergelar Bagindo Nan Batuah—seorang guru tari dan pencak silat. Dari anduangnya, Hamka kecil mendengarkan pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Kemudian ketika pindah di Padang Panjang mengikuti kedua orang tuanya, Kakaknya Fathimah mengajarinya belajar membaca Al-Qur’an dan bacaan shalat. Pada usia tujuh tahun, ayahnya hendak menyekolahkan Hamka ke Sekolah Gubernemen, tetapi karena keterlambatan mendaftar, kelas telah penuh.

Maka ia pun belajar di sekolah desa. Kemudian tak lama, pada tahun 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School yang menerapkan sistem kelas di Pasar Usang, maka yang Hamka kecil juga mengenyam pelajaran bahasa arab dan materi pelajaran yang diadaptasi dari buku-buku sekolah rendah Mesir. Ketika Bersekolah di dua sekolah tersebut dengan jadwal pagi sore, dilewati olehnya selama tiga tahu belajar. Tapi, kemudian ia dimasukkan ke Sumatra Thawalib, yang merupakan sekolah yang didirikan oleh ayahnya di Padang Panjang.

Pada usia 12 tahun, Malik harus menyaksikan peristiwa yang kurang mengenakkan sebagai seorang anak kecil. Perceraian kedua orang tuanya. Hari-hari awal setelah perceraian, Malik memilih tak masuk sekolah dan menghabiskan waktu bepergian keliling kampung. Hal yang berujung kemarahan sang ayah. Dibalik bayang-bayang ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali bersekolah seperti biasa. Pagi belajar di Diniyah School, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib, dan kemudian pulang ke menjelang magrib untuk bersiap pergi mengaji.

 

Awal Mula Kecintaan pada Buku-buku dan Berpidato

Ketika Hamka mengetahui bahwa gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy, membuka bibliotek, tempat penyewaan buku, ia pergi menyewa buku sepanjang hari. Pada momen tersebut, tanpa disadari Hamka telah menunjukkan sifat rasa ingin tahu yang tinggi terhadap isi buku, suatu kebiasaan yang perlahan tertanam dalam dirinya. setelah rampung membaca, biasanya ia akan menyalin versinya sendiri.

Suatu hari, ketika kehabisan uang untuk menyewa, Hamka menawarkan diri pada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, hingga membuatkan kopi, tetapi sebagai ganti upahnya ia meminta agar diperbolehkan untuk membaca koleksi buku yang disewakan tersebut. Ketika keinginan tersebut tercapai, Hamka harus mengatur waktunya di tengah-tengah aktivitas sekolah Diniyah dan Thawalib, agar dapat punya waktu membaca buku. Ketika hasil kerjanya rapi, ia diperbolehkan untuk membawa pulang buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah.

Walaupun terkadang, ayahnya sering diam-diam memperhatikan aktivitas membaca buku cerita di rumah. Hal yang membuat ayahnya membuat pilihan pada Hamka mengenai aktivitas membaca, antara ingin menjadi orang alim atau menjadi tukang cerita. Sebuah pilihan yang menyadarkan ia kalau membaca buku cerita sering diperhatikan oleh ayahnya, membuat ia berhati-hati membaca buku cerita. Terkadang ia akan meletakkan buku tersebut dan membaca buku agama.

Kian hari, pergaulan Hamka remaja kian meluas. Bukan hanya bergaul dengan anak-anak muda Maninjau, tetapi juga turut belajar silat dan randai. Selain itu, yang paling disenangi oleh Hamka adalah mendengar kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabu. Ia juga sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda, hal menjadi sumber kerisauan seorang pamannya, Engku Muaro akhirnya membawa ia pergi belajar mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, pada usianya yang menginjak 14 tahun. Pertama kalinya Hamka remaja belajar hidup mandiri di Parabek.

Selama berasrama, Hamka memanfaatkan hari sabtu yang dibebaskan untuk keluar ke pasar membeli keperluan, maupun berkeliling berkeliling kampung Parabek. Biasanya, ia akan menyaksikan perlombaan burung balam di Kampung Durian. Ketika setiap kali mendengarkan sambutan penghulu sebelum perlombaan dimulai, ia menyadari kalau dirinya tertarik belajar berpidato. Dari sana, Hamka mulai mencatat dan menghafal petikan pantun maupun diksi dalam pidato adat. Bahkan, ia juga mendatangi beberapa penghulu untuk berguru pidato adat. Kecenderungan tersebut, pada kemudian hari keluarga ibunya mewariskan gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, yaitu Datuk Indomo kepada Hamka.

Sebagian besar pendidikan Hamka dihabiskan dengan pembelajaran informal dan dari ayahnya serta dari para ulama. Ia tidak menamatkan pendidikan formal, akan tetapi pengetahuannya terus berkembang dengan semangat belajar autodidak dari berbagai tokoh.

 

Merantau ke Jawa dan Makkah

Hamka remaja memulai perantaunnya ke Jawa pada usia 16 tahun. Ayahnya memberikannya gelar “Si Bujang Jauh” karena selalu menjauh dari orang tuanya. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa diketahui oleh ayahnya. Ia hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Sayangnya, perjalanan pertama tersebut harus gagal, karena ia mengalami sakit dan tubuhnya juga diserang cacar. Walaupun begitu, pada Juli 1924, Hamka kembali memulai perjalanannya ke tanah Jawa. Keinginan tersebut diungkapkan olehnya ketika meminta izin kepada ayahnya untuk merantau.

Di tanah Jawa, Hamka berkenalan dengan Sarekat Islam dan belajar tafsir Baidhawi pada Bagoes Hadikoesoemo. Berguru pada HOS Tjokroaminoto, Fakhrudin dan Suryapronoto yang biasanya diadakan di Abdi Dharmo Pakualaman Yogyakarta. Dari tokoh inilah, Hamka mengenal pergerakan politik Islam seperti Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Ia tekun mengikuti kelas tersebut selama 6 bulan, sebelum meneruskan perjalanan ke Pekalongan untuk belajar agama kepada RA Sutan Mansur—guru sekaligus kakak iparnya. Di sanalah, ia berkenalan secara intens dengan organisasi Muhammadiyah dan menjadi anggota. Begitu pula berkenalan pula dengan Citrosuarno, Mas Ranuwiharjo, Mas Usman Pujotomo, dan Muhammad Roem.

Setelah sekian lama di tanah Jawa, ayahnya menyuruh Hamka untuk kembali ke kampung halamannya membantu sang ayah membendung arus paham komunis yang mulai perlahan mendominasi pemikiran murid-murid Thawalib. Kesibukannya dalam berpidato mendapatkan perhatian dan apresiasi dari masyarakat, akan tetapi ayahnya menyindir Hamka karena pidato yang dianggap belum terlalu berisi. Kekecewaan tersebut kian diperparah dengan situasi saat ia tidak lolos sebagai guru di salah satu sekolah yang dibuka oleh Muhammadiyah di Padan Panjang.

Kekecewaan tersebut ia bagikan pada anduangnya. Dari sana, ia mulai berkeinginan untuk pergi belajar ke Mekah. Karena takut pada ayahnya, Malik menyampaikan niat tersebut hanya pada anduangnya seorang. Dari hasil menjual kapas milik anduangnya, ia dapat berangkat menggunakan kapal laut tepat pada bulan rajab menjelang keberangkatan jamaah haji. Begitu pula dengan seorang paman dan temannya yang juga turut membantu biaya perjalanan. Sesampainya di Mekah, untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia bekerja sebagai pegawai percetakan. Hamka menyempatkan waktu istirahatnya untuk membaca buku-buku agama yang ada di gudan percetakan. Ia bekerja di seuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid Kuri, mertua Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Di tempat kerja itu, ia membaca karya-karya klasik, buku-buku asing yang diterjemahan dan buletin Islam dalam bahasa arab.

Setelah menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa lama di Tanah Suci, Hamka berjumpa dengan Agus Salim dan menyampaikan keinginannya untuk menetap di Mekah, tetapi Agus Salim justru menasehatinya untuk segera pulang ke tanah air. Hamka akhirnya pulang setelah tinggal selama 7 bulan di di Mekah.

 

Siti Raham—Istri Tangguh Dibalik Sepak Terjang Buya Hamka

Sumber Al Hasanah Bengkulu

Sekembali dari Mekah, Hamka dinasehati pamannya, Haji Yusuf Amrullah menceritakan kesedihan yang dialami oleh ayahnya akibat gempa bumi yang merusakkan rumahnya di Padang Panjang serta murid-murid di Thawalib yang terpengaruh paham komunis dan melakukan perlawanan padanya. Maka, ia disuruh untuk mengobati perasaan ayahnya dengan menikah. Kala itu, ia telah ditunangkan dengang seorang gadis dari Kampung Buah Pondok, bernama Siti Raham binti Endah Sutan. Pernikahan yang digelar pada 5 April 1929 dengan biaya nikah dari hasil penjualan novelnya Si Sabariah, yang ditulis dengan gaya dongeng tradisional Minangkabau, kaba, berbahasa minang dan aksara arab jawi. Kala itu, Hamka telah menginjak usia 21 tahun, sedangkan Siti Raham berusia 15 tahun.

Dalam pandangan Hamka, pernikahan tersebut bukan hanya semata-mata menyenangkan hati ayahnya—Haji Rasul dan memperbaiki hubungan yang renggang antara bapak-anak tersebut. Melainkan juga ia sudah layak untuk menikah karena telah akil baligh, sekaligus menghindarkan diri dari gejolak nafsu yang biasanya terjadi dalam diri seorang anak muda. Satu hal yang paling disyukuri Hamka adalah memiliki istri yang memiliki akhlak yang mulai dan rendah hati. Dari pernikahan ini, Hamka dan Siti Raham dikaruniai 10 anak.

Situasi rumah tangga dalam suasana miskin, mau tidak mau memaksa Hamka bergantian menunaikan sholat, karena di rumah hanya ada sehelai kain sarung. Walaupun begitu, Siti Raham—istrinya sosok yang setia dan apa adanya. Menjalani hidup miskin yang mencapai puncaknya pada kelahiran anak ke-7, dengan penghasilan yang tak tetap yang diperoleh Hamka dari menulis buku dan majalah. Walaupun begitu, Siti Raham tetap memastikan anak-anaknya dan para kemenakan tidak mengalami kelaparan dengan menjual barang berharganya. Mulai dari gelang, kalung, gelang emas, dan kanik batik halus untuk makana sehari-hari. Suatu ketika, Hamka mengalami kesulitan uang dan berencana menjual kain bugis miliknya. Akan tetapi, istrinya menolak untuk dijual. Alasannya, karena tak ingin suaminya terlihat seperti fakir miskin.

Peran penting Siti Raham lainnya adalah selalu menjadi orang yang selalu dimintai pertimbangan oleh Hamka, ketika memutuskan hal-hal yang yang kerapkali membuat ia sulit untuk mengambil keputusan tersebut. Terutama ketika Hamka mengalami masa krisis di Medan dengan difitnah. Hal yang cukup berat, karena Medan bukan hanya tempat ia bekerja, tetapi juga kota yang menjadi saksi bisu perjalanannya sebagai seorang penulis dengan nama pena Hamka.

 

Aktif Berkiprah di Organisasi

Keaktifan Hamka dalam organisasi telah dimulai saat merantau ke tanah Jawa. Perjumpaannya dengan organisasi Muhammadiyah, membuatnya menjadi salah satu anggota kader yang turut mendirikan Muhammadiyah di Padang Panjang pada tahun 1925. Tak berselang, ia juga mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah pada tahun 1928. Pada tahun 1930 ia memboyong keluarganya ke Makassar karena mnejadi Konsul Muhammadiyah Makassar, karier organisasinya kian menanjak ketika terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatra Barat. Kemudian, terpilih sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1953 hingga akhir hayatnya.

Hamka juga aktif dalam organisasi politik tepatnya pada tahun 1925, ia bergabung dengan Partai Politik Sarekat Islam. Ia juga membantu perjuangan penentangan kembalinya Belanda ke Indonesia melalui pidato dan bergerilya di hutan Medan, pada tahun 1945. Ia juga pernah diangkat sebagai Ketua Barisan Pertahanan Nasional pada tahun 1947. Kemudian pada tahun 1955, Hamka menjadi anggota Konstituante melalui partai Masyumi. Selama menjadi anggota, ia kerapkali mengalami gesekan dengan politik mainstream. Karier politik Hamka berakhir ketika Konstituante dibubarkan lewat Dekrit Presiden Soekarno pada tahun 1959. Sedangkan, Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1960.

Hamka Juga pernah pernah menjabat sebagia Ketua umum Majelis Indonesia (MUI) selama dua periode. Namun, pada masa periode kedua, ia memilih mengundurkan diri dari jabatan ketua umum. Karena menolak permintaan pemerintah untuk mencabut fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam mengikuti acara perayaan natal.

 

Menyelami Samudera Kesabaran Buya Hamka

Hamka adalah ulama yang besar di lingkungan yang kental dengan ajaran agama. Bagi Hamka, sebagai seorang ulama tak ada namanya kompromi dengan siapapun mengenai akidah. Baginya, akidah adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang muslim di hadapan Allah, sehingga tidak bisa mencampuradukkan kebijakan apapun termasuk politik dengan akidah.

Dari kiri ke kanan: Buya Hamka, Abdul karim Oei Tjeng dan Soekarno (sumber Koran Sulindo)
 

Ajaran agama sebagai prinsip hidup adalah suatu keharusan maupun harga mati yang tak bisa ditawar-tawar oleh Hamka. Hal tersebut bisa terekam secara jelas atas ketidaksetujuannya pada gagasan Soekarno yang lebih menjurus pada memberi dukungan pada ideologi komunis. Walaupun, dulu sekali mereka berdua adalah kawan akrab yang telah mengenal sejak lama, tepatnya pada tahun 1941 dalam pertemuan Muktamah Muhammadiyah ke-30. Perbedaan dalam pandangan politik, sejak Hamka menjadi anggota Konstituante, membuat dua kawan tersebut merenggang karena perbedaan pandangan ideologi.

Puncaknya, Buya Hamka dipenjara atas perintah Presiden Soekarno pada tahun 1964-1966, karena dituduh melanggar Undang-Undang Anti Subversif Penpres Nomor 11, yaitu merencakan pembunuhan Presiden Soekarno. Selain itu, ia juga difitnah dengan dicurigai sebagai pro-Malaysia. Pada masa mendekam di penjara pun, ia juga mengalami berbagai intimidasi oleh petugas penyidik kala itu. Akhirnya, Hamka dibebaskan setelah pergantian presiden dari Soekarno ke Soeharto. Bahkan, hampir sebagian besar buku-buku Hamka dilarang saat ia mendekam di penjara. Apakah kerenggangan tersebut membuat Hamka membenci Soekarno? Nyatanya, tidak. Masa-masa yang ia lewati di penjara, ia mendapatkan banyak hikmah. Salah satunya, ketika Hamka bisa menyelesaikan salah satu karya monumentalnya sepanjang hidupnya, yakni Tafsir Al-Azhar. Sesuatu yang dulu ia sulit kerjakan, karena disesaki beragam kesibukan. Baginya, tak ada kebencian yang bersarang dalam dada, melainkan ia semakin menjadi pribadi yang berlapang dada.

Bahkan pada saat kematian, Hamka tetap melayat Soekarno, juga menjadi imam sholat saat menjelang kematian, Soekarno berpesan untuk meminta Hamka menjadi imam shalat jenazah Soekarno. Bagi Hamka, nasionalisme kebangsaan kita dibangun oleh Bung Karno. Hal yang mengajarkan pada kita, bahwa perbedaan yang menjadi sekat di antar kita, bukan menjadi penghalang untuk saling memaafkan satu sama lain.

Begitu pula saat Hamka dituduh oleh Pramoedya Ananta Toer melalui rubrik Lentera dalam Koran Harian Bintang Timur. Dikutip dari Kompas.com, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dianggap jiplakan dari novel Sous Ies Tilleuls karya pengarang Perancis Jean Baptiste-Alfonso Karr. Selain itu, ada pula Harian Rakyat yang memberitakan karya itu hasil jiplakan. Hingga berbulan-bulan lamanya, kedua koran tersebut terus mengkritik karya Hamka. Bahkan, tulisan-tulisan yang terbit mulai menyerang ia secara pribadi. Begitu pula yang dialami oleh salah seorang anaknya yang di sekolah menengah mengalami sindiran dari gurunya—berteman dengan anggtoa tokoh Lekra, karena tudingan plagiat tersebut. Hal yang Kemudian hari dibantah oleh H.B Jassin bahwa karya tersebut bukan plagiat.

14 tahun kemudian, Pramoedya Ananta Toer mengirim anak sulungnya bersama calon menantunya untuk belajar agama Islam pada Hamka. Ketika tahu yang datang adalah anak Pram, ia tetap menerima dengan tangan terbuka tanpa pernah mengungkit apa yang terjadi di masa lalu. Menurut seorang kawan dekat Pram, Hoedaifah, Hamka merupakan sosok yang tepat untuk belajar Islam dan tauhid. Selain itu keputusan Pram itu menunjukkan permintaan maaf pada Hamka.

 

Meneladani Pribadi Buya Hamka

Dari berbagai sumber

Buya Hamka adalah cerminan yang harus menjadi teladan anak muda, terutama yang tetap konsisten dalam merawat dan menumbuhkan literasi di penjuru negeri. Ditengah sepak terjangnya dalam dunia pergerakan, tak sekalipun menjauhkan diri aktivitas membaca dan menulis. Yunan Nasution, rekan Hamka, pernah mengatakan kalau Hamka bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca, barang serinkali hingga larut malam. Kadang ia bisa membaca buku satu-dua jam dan mencatat di kertas apapun yang ada dekat dengan tangannya—seperti bungkus rokok—lalu mengantongi catatan tersebut. Ia bahkan sangat produktif menulis hingga menghasilkan 115 tulisan dalam berbagai disiplin ilmu.

Menurut Hamka, ada empat syarat untuk menjadi pengarang atau penulis. Pertama, seseorang harus memiliki daya khayal atau imajinasi. Kedua, seseorang harus memiliki ingatan. Ketiga, seseorang harus memiliki kekuatan hafalan. Keempat, seseorang harus memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.

Melalui Hamka, kita menyadari menjadi seorang manusia yang berwawasan tak terjadi begitu saja, melainkan memerlukan proses panjang dan tak berkesudahan. Dari sosok beliau, kita harus pandai-pandai bercermin pada diri, sejauhmana keinginan kita dalam menyelami literasi. Apakah membaca dan menulis hanya sekedarnya saja, atau menjadi medium kita dalam menggalakkan pesan-pesan religius keagamaan pada siapapun. Mari sebarkan kebaikan melalui tulisan. Dan sebuah tulisan yang bisa menggoyahkan hati para pembaca, berasal dari kerakusan kita dalam membaca.

 

“Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.”

—Buya Hamka

 

Sumber

Pribadi dan Martabat Buya Hamka karya H. Rusydi Hamka

Memoar dan Perjalanan Hidup Sang Ulama Buya Hamka karya Yanuardi Syukur dan Arlen Ara Guci

Komentar

Postingan Populer