Menyelami Ideologi: Upaya Mempertanyakan Realitas

https://www.pexels.com/id-id/foto/lukisan-terowongan-oranye-dan-abu-abu-52062/
Apakah dengan mengenyam pendidikan, hingga perguruan tinggi akan menjamin kestabilan jiwa hidup seseorang? Lantas, apabila ketika seseorang telah selesai dari mengenyam pendidikan secara formal, telah mendidiknya menjadi manusia utuh? Ataukah sebagian dari mereka malah menimbulkan kekacauan lain, entah di dalam dirinya maupun di luar diri? Maka, penting bagi kita merenungkan sepeser ilmu yang kita peroleh dari dari bangku pendidikan telah membuat kita menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Jangan sampai, titel yang melekat di belakang nama kita hanya akan menjadi sebuah nama semata tanpa makna apapun bagi siapapun—terlebih bagi diri kita sendiri.
Barangkali akan lebih baik, kalau kita sesekali mempertanyakan identitas apa yang telah terpatri di dalam diri, selama bertahun-tahun menimba ilmu pengetahuan, tetapi jika kita sadari ada kekosongan yang tak kita ketahui yang turut membersamai. Ke manakah ilmu pengetahuan tersebut membawa kita? Mendekatkan diri kita pada kecenderungan berbagi kasih sayang dan bertanggung jawab pada sesama, atau menjadi individu yang tidak peduli dan mengklaim kebenaran mutlak hanya milik pribadi—termasuk pada orang-orang terdekat?
Setelah dipikir-pikir lagi, menelusuri beberapa tahun ke belakang, saya mengamini apa disampaikan oleh Murtadha Muthahhari, setiap orang terbentuk dan dibentuk oleh cara pandang mereka dalam melihat realitas, yang meliputi alam, masyarakat, sejarah dan manusia. Cara pandang tersebut, kemudian melahirkan pandangan dunia yang berbeda-beda bagi tiap orang dalam menafsirkan apa yang ada di realitas. Maka, akan sangat disayangkan apabila kita seenaknya mengklaim bahwa setiap orang harus memiliki cara pandang yang sama. Bahkan, beberapa murid yang dididik oleh seorang guru yang sama pun, kemudian hari mereka akan memiliki pemikiran yang berbeda-beda, bahkan bisa jadi saling berkontradiksi satu sama lain.
Pemikiran yang berlainan satu sama lain, tak terlepas dari pandangan dunia yang telah perlahan-lahan memunculkan ideologi-ideologi tertentu pada tiap orang. Lantas, bisakah kita hanya bisa menilai seseorang hanya berdasarkan atribut ideologi yang melekat pada diri mereka? Bila diumpamakan, ideologi seperti permukaan laut, di dalam kedalaman laut itulah seperti pandangan dunia seseorang. Bisa jadi, permukaan dan kedalaman saling berkontradiksi jika hanya dilihat sebatas persepsi inderawi belaka. Diperlukan, persepsi akal untuk menuntun kita mengenali seberapa jauh ideologi tertentu yang terpatri di dalam diri mereka.
Bahkan, akan lebih berbahaya lagi jika ada orang-orang yang hanya tunduk pada ideologi yang dianutnya, dan cenderung tanpa disadari malah menuhankan ideologi tersebut, hanya karena dianggap sebagai keyakinan yang mutlak. Padahal, ideologi merupakan kontruksi yang dihasilkan dari cara pandang terhadap realitas.Namun, tak menutup kemungkinan bahwa ada ideologi yang mengakar pada diri, yang diakibatkan oleh doktrinasi dari pihak yang lebih berkuasa. Maka, penting bagi setiap orang untuk memiliki kemandirian dalam menafsirkan realitas, tak melulu mengikuti apa kata orang—apalagi bila individu yang ngomong ini-itu cenderung fanatik buta pada ideologi tertentu, sebab secara tidak langsung hanya mengiring kita untuk harus percaya pada ideologi yang dianutnya, sekaligus kita malah menjadi bagian dari basis massanya.
Padahal, setiap ideologi akan melahirkan perbedaan, dan mudah terlihat dari tindakan yang diperbuat dari si penganutnya. Bisa jadi, seseorang yang mengaku materialisme garis keras, tapi ketika pergi di sebuah kebun yang dianggap mistis, masih sibuk merapalkan mantera-mantera tertentu, dengan dalih melindungi diri dari gangguan mahluk halus. Nah, ini yang dibilang anak-anak kekinian, kalau mau jadi sesuatu, harus benar-benar riil. Jangan, diluar lain, di dalam lain. Terlepas dari hal tersebut, setiap perbedaan ideologi harus dilihat dan disikapi dengan dengan cara yang bijak. Bukan dengan menutup diri, apalagi menolak segala ideologi dan hanya menganggap ideologi kita yang paling benar. Alangkah lebih baiknya, untuk melihat ideologi sebagaimana ideologi, bukan melihat ideologi dari siapa tokohnya belaka. Wallahul alam bishawab[]

.jpeg)
Komentar
Posting Komentar