Menyikapi Perbedaan Seumpama Masa Kanak-kanak
![]() |
| https://www.pexels.com/id-id/foto/tiga-gadis-berdiri-di-luar-2884462/ |
Dalam diri saya versi kanak-kanak, saya menemukan berapa banyak perbedaan yang membentang antara satu sama lain bukan sekat untuk saling berjarak. Saling mengajak bermain kawan-kawan yang berlainan latar belakang maupun keyakinan, bukan menjadi masalah. Karena, permasalahan pada saat itu hanya berkaitan erat dengan bagaimana menikmati permainan, tanpa dibumbui amarah yang berujung menganggu suasana permainan. Bahkan, perdebatan urusan surga-neraka tak saling bergemuruh di ruang-ruang obrolan receh khas anak-anak.
Begitu pula dalam memaknai toleransi antar sesama. Saling menghargai, tanpa terbelenggu prasangka yang lahir dari ketidaktahuan. Seperti kanak-kanak yang memiliki rasa ingin tahu yang menggebu-gebu, ada hal yang harus terus kita pelajari tanpa jemu. Belajar untuk menerima perbedaan yang hadir di tengah-tengah kita sebagai sebuah anugerah. Pun, dalam menyikapi perbedaan pendapat yang sepanjang hari kita temui di dunia nyata maupun maya haruslah disikapi secara bijak.
Maka, alangkah baiknya untuk tidak membuat diri terkungkung dalam jebakan pikiran sendiri dalam menilai beragam cerita maupun orang-orang yang ditemui dari sudut pandang diri sendiri. Jadilah seperti kanak-kanak yang selalu ingin tahu cerita setiap orang melalui dialog. Mendengar dan merasakan cerita setiap orang dari sudut pandang mereka tanpa menghakimi. Hal yang membuat saya teringat sebuah nasehat dari Imam Ali bin Abi Thalib yang berbunyi, “Dia yang bukan saudaramu dalam keimanan adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.
Terlepas
dari perbedaan yang membentang, kita adalah sesama manusia yang wajib menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Toleransi adalah cara kita saling merangkul perbedaan
sebagai pengikat persaudaraan di antara kita. Menjadi manusia adalah sebuah
ikhtiar untuk mengenali kesejatian diri kita sebagai manusia sebagai mahluk
yang sesungguhnya memiliki ketiadaan diri. Menjadi manusia juga berarti
memaknai perbedaan sebagai hal yang bersifat fitrah. Dan, untuk mencapai pemaknaan
toleransi yang digaungkan oleh agama, maka kita patut untuk terus mau belajar
dan membuka diri menyikapi perbedaan secara arif. Sebagaimana yang telah
diwariskan oleh pendahulu kita secara turun-temurun.


.jpeg)
Tulisannya bagus, ada referensinya. Tapi, foto headernya mungkin kurang menggambarkan isi tulisan. Mungkin lebih baik pemilihan fotonya yang lebih menggambarkan isi tulisannya, seperti foto anak-anak atau foto buku yang dibahas Di awal
BalasHapusterima kasih sarannya, Kak
HapusSemangat kak
HapusBagus, karena masa kanak-kanak adalah masa masih bermain belum memikirkan yang berat-berat.
BalasHapusiya, kak.
HapusSaya pun jadi ikutan ingin tahu, seperti apa berislam seperti kanak-kanak.
BalasHapusbarangkali bisa membaca bukunya mbak Kalis Mardiasih.
HapusIya bener, karena belajar sepanjang hayat, selalu perlu gelas kosong untuk bisa menjadikan wadah referensi untuk menentukan jalan
BalasHapusbetul, Kak. proses tiada akhir.
HapusKehidupan anak-anak memang bukan tanpa pertengkaran, namun mereka cepat melupakan dan segera merajut kembali hubungan
BalasHapusBanyak hal yang bisa dipelajari dari anak-anak
HapusMenarik-!! ♡
BalasHapusberIslam seperti anak-anak.
saya rekomendasikan untuk membaca bukunya mbak Kalis Mardiasih. Banyak hal yang terasa mengena.
HapusMenarik ya, antara satu anak dan yang lain sangat mudah sekali dekatnya, dibandingkan jika sudah beranjak dewasa wkwk
BalasHapusdalam pertemanan anak-anak lebih apa adanya daripada orang dewasa yang entah mengapa terasa begitu kompleks
HapusWah, referensi yang menarik, nih! 😀
BalasHapusmakasih kak, sudah mampir.
Hapus