Memeluk Ketidaksempurnaan Diri

 

Gambar dari Pexels


    Membaca kembali catatan harian mengenai diri sendiri, saya menyadari kalau diri secara ‘personal’ begitu jauh dari apa yang selama ini diharapkan oleh diri sendiri. Namun, apakah saya akan memarahi diri sendiri atas kegagalan tersebut? Sepertinya tidak. Saya sudah terlalu lama dengan diri sendiri, terasa begitu menyakitkan jika harus memarahi diri sendiri—hanya karena kemalasan saya juga yang turut andil menciptakan kekacauan demi kekacauan dari setiap rencana yang telah saya gantung di kepala yang berakhir hanya menjadi khayalan belaka.

Barangkali orang-orang akan menuding saya terlalu buta hingga terlalu memanjakan diri sendiri. Akan tetapi, melihat tumbuh kembang saya hingga kini, ada hal-hal yang ingin saya tangisi dan memeluk diri sendiri. Karena saya menyadari dalam hidup ini, tak ada hal-hal baik yang terjadi begitu saja. Ada hal-hal tertentu yang ingin diusir dari dalam hidup, bahkan dipaksa-hilangkan dari dalam diri. Seolah-olah hal tersebut tak pernah terjadi dalam hidup.

Jika diingat-ingat, berapa banyak hal-hal menyakitkan yang bertamu daripada hal-hal yang menyenangkan pada diri? Ah, sepertinya saya tak perlu menghitung dengan jari mengenai peristiwa demi peristiwa yang mewarnai kehidupan saya. Toh, setiap peristiwa itu memberi saya ruang untuk melihat dunia, bahkan hidup saya dari perspektif lain. Sesuatu yang tentu saja saya pelajari secara perlahan-lahan pada usia yang kian hari kian menanjak.

Ada hal yang ingin ditangisi, tetapi juga yang menghangatkan diri. Dari semua itu, saya menyadari arti penting diri saya untuk menemani diri saya sendiri. Melihat sosok nan rapuh yang tercermin dari pantulan cermin, mengingatkan saya untuk menjauh atau meninggalkan diri sendiri. Sebab, saya tahu betapa menakutkannya jika tak berada untuk diri sendiri. Orang lain belum tentu berada di samping kita, tetapi satu-satunya orang yang akan berada di sisi kita dan tak pernah meninggalkan diri kita adalah diri sendiri.

Betapa dulu saya begitu terjebak dengan pandangan orang lain tentang diri sendiri, saya tak ingin menyalahkan diri sendiri atas segala pandangan yang tertuju pada diri, toh diri saya sendiri dari kacamata orang lain dilihat dari sudut pandang mereka tentang saya, bukan dari diri saya sendiri. Ujaran merendahkan tak harus dianggap sebagai hukuman pada diri sendiri. Ada banyak hal berharga yang telah saya lalui bersama diri sendiri, yang tentu saja tak bisa ditangkap oleh CCTV orang lain dalam melihat seperti apa perasaan dan pikiran saya dalam memandang hidup.

Walaupun begitu, saya menyadari butuh proses yang tak sebentar untuk mampu berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan segala pesimis yang menguasai isi kepala secara bertubi-tubi. Namun, bukankah berdamai adalah jalan untuk mau membuka sekaligus mengenali diri? Benar. Di sinilah proses menyembuhkan hal-hal yang tak terselesaikan dan dipendam seorang diri.

Saya belajar untuk mengajak diri sendiri untuk mau perlahan-lahan berubah. Tidak menjadikan hal-hal baru sebagai tekanan dalam hidup. Belajar untuk keluar dari ketidakpercayaan diri yang telah bertahun-tahun mendiami diri sendiri. Ketidakpercayaan pada diri bukan hanya membuat saya mengalami pergolatan batin dan ketidakstabilan emosi, tetapi juga menguncang diri.

Kini, saya biarkan diri saya untuk mencoba hal baru. Menantang diri untuk menemukan sisi keunikan dari dalam diri, yang selama ini tak pernah disadari. Apapun itu. Kesakitan yang melanda diri, tak lagi terasa sakit. Setiap orang memiliki masa untuk merayakan setiap luka-luka kecil yang bersarang dalam diri, karena telah jatuh cinta. Tetapi, bukankah hidup kian bermakna, saat kita mampu menyikapi segala luka secara arif?

Semoga diri ini terus melangkah. Merayakan kesakitan maupun menyenangkan dengan jalan kebijaksanaan. Memeluk ketidaksempurnaan diri adalah jalan untuk mengenali diri diri. Maka, sudahkah memeluk diri dan memaafkan diri sendiri?[]

Komentar

Postingan Populer