Pengetahuan: Ikhtiar Mendidik Diri

 

https://www.pexels.com/photo/a-diligent-male-student-reading-a-book-3771114/


    Menengok ke belakang, ada banyak kisah yang terbentang begitu saja dalam proses mencari tahu segala yang menghantui diri sendiri dengan kegelisahan yang terus-menerus hadir di sela-sela aktivitas sepanjang hari. Apabila orang lain berpikir mengenai orang-orang yang senantiasa membaca buku dan memikirkan beragam hal yang kerapali dianggap nyelimet alias susah bin ribet, pastilah orang-orang seperti itu yang berjibaku dengan buku-buku adalah orang-orang yang ingin cerdas dan memuaskan rasa ingin tahu yang tinggi pada hal apapun—bahkan hal kecil sekalipun.

Mungkin sedikit benar anggapan tersebut yang ditujukan pada orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu pada apapun. Begitu pula pada saya—salah satu spesies manusia yang juga memiliki rasa ingin tahu pada sebagian hal, tak semua hal. Karena, saya memafhumi diri hanya ingin mengetahui hal-hal yang hanya berkaitan dengan minat. Namun, keingintahauan akan hal-hal yang diminati perlahan-lahan melahirkan kegelisahan-kegelisahan yang sangat mendasar dari dalam diri.

Segala kegelisahan yang tak terjawab dan berujung pada kekecewaan, perihal pada siapa saya harus bertanya? jika tak ditemukan sebuah jawaban yang mengena bagi diri sendiri. kekecewaan yang melahirkan semangat menggebu-gebu untuk harus memaksa diri untuk mandiri dalam mencari pengetahuan melalui buku-buku yang dibaca, diskusi daring maupun beragam artikel maupun video yang saya temukan maupun dicari di media sosial. Saya mengambil langkah tersebut sebagai cara untuk menemukan apa yang ingin saya ketahui. Minimal inilah upaya saya untuk memperoleh pengetahuan pada apapun yang mencuri perhatian.

Ternyata mengedukasi diri saya membawa saya pada banyak hal lainnya yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Namun, lamat-lamat saya menyadari apakah pengetahuan hanya pada sebatas pada tatanan teoritis belaka. Begitu meninggi, hingga lupa membumi?

Melihat ke sini, saya seperti pengetahuan seperti seorang sahabat tetapi lebih menjadi seorang ibu yang mendidik saya. Dahulu, saya pikir pengetahuan menjadi cara untuk mengubah orang lain. Dengan pengetahuan yang dimiliki kita bisa mencapai tujuan bersama. Namun, saya begitu naif mendambakan sebuah gerakan yang berbasis pengetahuan yang efeknya langsung dirasakan secara instan. Maka, benar apa yang diaktakan oleh Imam Ali, Ilmu pengetahuan menjaga diri

Pengetahuan tak memabukkan. Yang saya alami sekarang, saya pikir pengetahuan menjadi sesuatu yang bermakna tersendiri bagi diri saya. Apapun namanya pada pengetahuan. Saya belajar untuk mendidik diri saya. Ada pertanyaan berkelebat, tetapi saya abaikan. Toh, saya juga tak punya jawaban yang pasti untuk segera menjawab—alih-alih menjawab, saya ingin membiarkan pertanyaan itu mengendap sembari saya fokus menjawab hal-hal yang bisa terjawab.

Saya belajar untuk tidak gampang ngegas, padahal tak ada orang yang melarang untuk ngegas. Walaupun tidak. Tapi, minimal saya berusaha mengontrol dan jujur pada diri sendiri tanpa adanya kepalsuan. Saya ingin berteman dengan diri saya sendiri. saya tak ingin diri saya hanya menjadi medium yang memuluskan segala keserakahan ego dan hasrat yang senantiasa memaksa untuk dan bertumbuh dalam diri saya.

Saya belajar betapa pengetahuan paradigma melatih saya tidak doyan nyinyir pada apapun—apalagi yang kerap bermunculan di media sosial. Sebagaimana yang kita tahu, hampir sebagian besar orang-orang mudah menghakimi maupun berkomentar atau berasumsi secara bebas pada apa yang ditampilkan di linimasa—terutama jagat facebook yang berisi segala ungkapan sebagian besar orang—bahkan urusan yang dianggap paling privasi sekalipun dibiarkan begitu saja tersaji dan dikonsumsi oleh publik. Maka, sudah sepatutnya ilmu menjadi senjata kita untuk melawan segala informasi yang acapkali lebih mengandung hoax, alih-alih kebenaran.

 

Komentar

Postingan Populer