Suara Hati Perempuan: Menguak Tabir Diujung Hening

 Bagian I

 

https://www.pexels.com/photo/silhouette-of-person-standing-near-window-3334070/

“Aku pernah membiarkan diriku terombang-ambing dalam pemikiran mereka tentangku. Membiarkan diriku menjadi diri yang ‘lain’ di antara lautan manusia yang terus bergerak menjalani hidup.”

 

Aku pernah berkata pada angin, “Tak apa-apa mengakui kalau kita tak sedang baik-baik saja. Walaupun pengakuan tersebut hanya terdengar oleh diri kita sendiri dalam keheningan.” Karena aku menyadari membiarkan diri sendiri untuk berpura-pura baik-baik, bukan hal yang baik. Entah kita terlahir sebagai anak perempuan maupun lelaki, tak ada yang salah dengan pengakuan ‘tidak baik-baik saja’.

Barangkali bagi sebagian besar orang, tak apa jika anak perempuan memperlihatkan sisi kelemahan diri. Akan tetapi, jika anak lelaki yang mengakuinya, seketika dunia mencibir padanya. Semua pasang mata menatap lekat anak lelaki dengan tatapan yang mengartikan ‘Anak lelaki haram bersikap lemah’.

Apa yang salah dengan memperlihatkan sisi kelemahan diri? Apakah anak lelaki berbeda jauh daripada perempuan? Apakah memperlihatkan diri yang sepanjang hidup berpura-pura kuat adalah hal kodrati yang melekat pada diri anak laki-laki? Bukankah berani mengakui kelemahan diri adalah hal yang manusiawi? Kelemahan manusia yang ada dalam dirinya adalah fitrah.

Sayangnya, sebagian besar orang masih mendoktrin anak lelaki untuk tumbuh bermental tangguh. Padahal, menjadi tangguh bukan melulu berkaitan dengan kekuatan fisik semata, tetapi juga penerimaan diri secara emosional yang berhubungan dengan sisi internal diri yang seringkali mengalami ketidakstabilan pada saat tertentu. Mereka dilarang memperlihatkan sisi lain diri pada orang lain—termasuk pada perempuan. Mereka dituntut untuk menjadi pengayom sekaligus pemimpin perempuan dengan berdalih, “karena anak perempuan itu lemah”.

Lambat-laun saat dewasa, seorang anak lelaki mempercayai doktrin yang telah tertanam di kepala bertahun-tahun silam. Anak lelaki tidak mengenal menangis. Tidak mengenal sakit hati dan berbagai sisi emosional lainnya. ujung-ujungnya, mereka harus mengubur segala hal yang menguncang sisi mental diri, yang bisa saja berpengaruh pada ego yang bertumbuh pada diri. Sayangnya, ego tersebut bisa sewaktu-waktu menjadi bom waktu pada kemudian hari.

Ego yang sebenarnya menjauhkan diri mereka dari sisi fitrah dalam relasi kemanusiaan. Baik perempuan maupun laki-laki sama-sama mengemban tugas kemanusiaan sebagai penolong satu sama lain. Baik perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab, beserta hak dan kewajiban yang sama. Dalam diri perempuan dan laki-laki memanifestasikan gambaran utuh tentang manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Lantas, bisakah ego untuk berpura-pura tetap baik-baik saja akan melahirkan manusia yang mampu mengenali kecenderungan dirinya? Doktrin yang kita percayai begitu saja, bukan hanya membunuh pemikiran anak lelaki mengenai makna ketangguhan dalam hidup, melainkan juga menjadi jebakan bagi anak perempuan untuk berani bangkit menghadapi dinamika hidup. Doktrin yang berujung pada kepasrahan anak perempuan yang tanpa sadar percaya begitu saja akan doktrin yang begitu bias pada perempuan.

Ketika ia berani. Ia dianggap melawan kodrat sebagai perempuan oleh Standar Society. Lantas, apa sejatinya kodrat yang bersarang dalam diri perempuan? Padahal, kodrati yang melekat pada diri perempuan hanya berkaitan pada anatomi tubuh, tak berkaitan erat dengan aspek intelektual, emosional dan spiritual yang melekat pada diri perempuan.

 

Bersambung[]

Komentar

Postingan Populer