Ulasan Novel Alfa & Omega: Awal Tanpa Akhir

 


Sumber Goodreads


Uraian singkat isi novel di sampul belakang buku

Alfa adalah laki-laki pertama yang mencuri hati Omega. Ketika Zeta, adik Alfa sekaligus sahabatnya menentang perasaan Omega, dia menyerah. Sepuluh tahun setelah hari itu, takdir mengikat mereka dengan satu kejadian yang terlalu biasa. Karena segala hal yang biasa membuat setiap orang terlena, lupa akan tujuannya dan diam-diam melupakan niatnya. Alfa dan Omega adalah akhir dari sesuatu yang tidak berawal. Atau justru awal dari sesuatu yang tidak berakhir?

 

***

Novel ini berkisah tentang Omega, yang hampir sepuluh tahun lamanya memendam rasa pada kakak lelaki sahabatnya Zeta, Alfa. Pertemuan mereka tanpa disengaja melalui pekerjaan, menjadi awal dari cerita yang tak berakhir, perihal Alfa yang perlahan menyadari rasanya pada Omega. Dan Omega yang harus kembali merasakan sakit, karena mencintai sosok Alfa yang terlarang untuk dimilikinya atas nama persahabatannya dengan Zeta. Karena Alfa telah menjalin kisah asmara dengan Gema, sebelum akhirnya kandas di tengah jalan.

Pada akhirnya, sepuluh tahun kemudian Alfa dan Omega dipertemukan kembali. Bukan sebagai ‘sahabat dan kakak Zeta’, melainkan sebagai rekan kerja yang berada di proyek yang sama. Perlahan tapi pasti, benih-benih rasa bertumbuh tanpa disadari oleh Alfa. Begitu pula dengan perasaan Omega yang jungkir-balik dengan rentetan rasa yang telah ada di masa lalu, yang sayangnya masih utuh hingga kini.

Rentetan peristiwa yang mendekatkan mereka satu sama lain. Berujung pada satu konklusi yang mati-matian dibunuh oleh Omega dalam dirinya, bahwa perasaan itu masih ada untuk Alfa. Barangkali Barry pernah menjadi seseorang yang nyaman bagi ‘pelarian hidup’ Omega, tetapi ia bukan pilihan suara terdalam dari diri Omega, melainkan Alfa. Hanya Alfa—tiada siapapun yang mendekam dalam pikiran terdalamnya.

Menurut saya secara pribadi, novel ini menawarkan sudut pandang lain dalam menyelami pikiran seorang Omega Dianbiru dari kacamata pembaca. Sebuah novel yang menggambarkan kehidupan asmara dan persahabatan yang pelik dengan gaya tutur yang sederhana, tanpa kehilangan suasana rumit yang sedari awal telah menemani pembaca hingga menjelang akhir novel. Dari kisah ini, saya menyadari ada banyak Omega lain yang di luar sana yang juga turut mengalami patah hati sendirian karena cinta sepihak. Penggambaran cerita yang mengalir dan terasa begitu realistis dan relevan bagi sebagian orang di sekitar kita.

 

Berdamai Dengan Rasa Sakit

Manusia tak bisa memilih pada siapa ia akan jatuh cinta—termasuk yang dialami oleh Omega. Ia tak bisa memilih untuk jatuh cinta pada Alfa yang berujung membuatnya terluka, karena rasa tersebut. Memilih melanjutkan S2 ke luar negeri adalah cara lain untuk melupakan sosok Alfa. Ya, pelarian yang membuatnya kemudian nyaman dengan salah satu personil grup band—Barry. Hubungan yang berawal dari nyaman dan berubah menjadi sepasang kekasih, nyatanya tak mampu menghapus jejak rasa Omega terhadap Alfa, yang kerapkali membuatnya terserang sesak dada, ketika dilukai oleh rasa tentang Alfa.

Karakter Omega mewakili sebagian orang dari kita, yang ketika menyukai seseorang lebih memilih berpura-pura untuk tidak mengakui rasa itu. Ya, memilih untuk menolak rasa ketimbang untuk mengakui rasa tersebut dan menyakinkan diri sendiri, bahwa tidak sedang menyukai seseorang. Namun, sayangnya, kenyataan yang diperhadapkan pada kita memaksa kita untuk terus membohongi diri sendiri. Bahkan, kita perlahan menyalahkan diri sendiri hanya karena jatuh cinta. Salah satu alasannya adalah demi orang-orang yang berada di sekitar kita. padahal, masalahnya ada dalam pikiran kita sendiri.

Kita terjebak dengan beragam asumsi yang berserakan di kepala dan tidak ingin membagikan hal itu dengan orang lain. Tak ada yang salah dengan berbagi dengan orang lain—terutama dengan orang terdekat. Barangkali kita bisa mendengar perspektif baru dari mereka. Sayangnya, tak semua orang pandai dalam mengutarakan pendapat. Apalagi yang berkaitan dengan ‘rasa’. Hal yang cukup sensitif bagi siapapun.

Dari cerita yang sama, kita juga menyadari hubungan persahabatan ala Omega-Zeta menampilkan wajah lain yang seringkali tertutupi oleh ‘friendship goals’ yang tanpa sadar membebani diri Omega. Bisa terlihat, ketika Omega harus berpura-pura baik saja, demi menjaga perasaan Zeta. Hal yang menyadarkan saya, kalau persahabatan sewaktu-waktu bisa menjadi penjara bagi egoisme salah satu pihak, jika orang-orang yang berada dalam lingkaran yang sama tidak saling belajar memahami satu sama lain, sebagaimana yang terjadi pada Omega-Zeta.

Namun, saya menyukai ending-nya yang cukup membahagiakan bagi setiap tokoh yang berada dalam novel ini. Hal yang paling berkesan, ketika saya memaknai Alfa dan Omega dari sudut pandang penulis di kalimat pembuka dalam kata pengantarnya. Sebuah kalimat yang memberi saya suatu pelajaran dalam memaknai Alfa dan Omega.

 

Alfa dan Omega: Awal Tanpa Akhir | Oda Sekar Ayu | Elex Media | 2018 | 324 halaman | Ipusnas

 

Komentar

Postingan Populer