Bangau Si Penjaga Sungai
![]() |
| Gambar dari Pinterest |
Wai
adalah seekor burung bangau kecil yang tempat tinggalnya tak jauh dari sungai. Ia
begitu membenci sungai, karena sering diolok-olok sebagai seseorang yang dewasa
nanti akan menjadipenjaga yang siang-malam hanya berjaga di sungai. Hal itu
disebabkan oleh keluarganya merupakan penjaga di Sungai Wai Nana. Suatu hari,
Ibu memanggilnya untuk pergi ke sungai. Padahal, menurut tradisi keluarga yang
telah dipegang oleh keluarga Wai, yakni anak-anak belum boleh mengunjungi
sungai hingga mereka masuk sekolah. Namun sayangnya, tradisi itu harus
dilonggarkan demi sungai.
“Kata
Nenek, sungai kita sedang sakit,” ucap Ibu pada Wai.
“Memangnya,
Sungai Wai Nana juga bisa sakit?” tanya Wai kecil kebingungan.
Ibu
menangkap kebingungan pada wajah Wai. Sebagai seorang anak penjaga sungai, Wai harus
mengenali sungai sebagai rumah kedua mereka. Sebab, di sanalah sumber kehidupan
turun-temurun keluarga. Mereka memiliki ikatan yang kuat sebagai saudara yang
telah saling menjaga satu sama lain hingga kini.
“Bukan
cuman kita yang bisa sakit, Nak. Sungai juga bisa sakit. Kalau manusia buang
sampah sembarangan, sampah akan tersangkut di antara bebatuan sungai. Akan menganggu
aliran air sungai,” jelas Ibu.
***
Wai
baru pertama kali menginjakkan kaki di tepi Sungai Wai Nana. Sebuah sungai yang
belum boleh dikunjungi oleh mereka, ketika belum bisa terbang tinggi seperti
kakak-kakaknya yang telah pandai hinggap di pohon yang menjulang tinggi.
“Apakah
ini sungainya, Ibu?” tanya Wai memperhatikan sungai secara dekat.
“Iya.
Ini sungai yang telah menjadi rumah kedua kita, Nak. Tetap di sini, Ibu akan
kesana sebentar.” Ibu meninggalkan Wai sendirian.
Sungai
di hadapan Wai mungkin selebar rentangan sayap kedua orang tuanya atau juga
ditambah kakek-nenenknya untuk bisa menyamai ukuran lebarnya. Sungai yang
unik, pikir Wai.
Sambil
menunggu ibunya, Wai meletakkan sepasang kakinya di dekat sungai yang airnya
dangkal. Airnya begitu jernih. Burung saling berkicau dan pepohonan yang asyik
menari-nari bersama angin. Betapa indahnya.
“Hai, Nak!”
Sebuah
suara tiba-tiba memanggil Wai tak jauh darinya. Ia segera menengok ke arah seberang—tempat
ibunya yang sedang memetik beberapa ranting kering.
“IBU!!!
Tadi memanggil Wai?” tanya Wai pada Ibunya di seberang.
“Tidak,
kenapa, Wai? Ada orang yang memanggilmu?” tanya ulang ibunya.
“Tidak.
Tidak. Barangkali Wai hanya salah dengar suara,” jelas Wai cemas.
Setelah
beberapa saat, suara itu terdengar lagi.
“Hai, Nak.
Bisakah kamu melihat air di bawah ini,” ucap suara asing itu.
Takut-takut,
Wai menengok ke bawah. Ternyata pemilik suara itu adalah Sungai Wani Nana.
“Bisakah,
kamu menolongku?” tanya sungai.
“Bi,
bisa, bisa,” jawab Wai ragu-ragu.
Namun,
sebelum sungai itu melanjutkan ucapan. Ibu Wai telah terbang kembali dari
seberang.
“Ya ampun,
Tuan Sungai. Lama tak berjumpa, apa kabarmu?” tanya ibu saat melihat anaknya
telah bertemu duluan dengan sungai.
“Aku
baik-baik saja. Tapi, tubuhku tidak sedang baik-baik saja. Banyak sampah yang
sembarangan di buang manusia, seringkali melukai tubuhku. Bahkan, ada saja yang
membuang sampah yang menutupi aliran air dalam tubuhku,” jawab sungai kesal.
“Tuan
kalau begitu, kenapa tidak memarahi perbuatan manusia yang suka membuang sampah
sembarangan?” tanya Wai polos.
“Tidak
semudah itu, Nak. Saat aku benar-benar marah, aku akan meluap ke mana-mana. Sayangnya,
manusia yang tidak berdosa juga terkena dampaknya. Hanya karena ulah sedikit
orang yang suka buang sampah sembarangan.” jawab sungai.
Ibunya
Wai mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju, “Manusia memang jahat. Mereka bukan
hanya satu-satunya mahluk Tuhan. Kita semua adalah ciptaan Tuhan. Bahkan, merawat
sungai juga adalah tanggung jawab manusia. Ada sebagian manusia yang memilih
tidak peduli pada sungai, dan terus buang sampah di mana-mana. Ketika sungai
mengamuk, mereka malah berbalik menyerang sungai dengan ujaran kebencian.”
“Untungnya,
Keluarga kalian telah menjaga saya secara turun-temurun. Saya jarang sakit karena
kalian sering mengangkat sampah yang jatuh ke sungai sepanjang hari bergantian
tanpa mengeluh,” ungkap sungai.
Sungai
tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa keluarga bangau. Sebab,
merekalah yang telah menjaga dirinya dan merawatnya saat dijahili oleh tangan-tangan
nakal manusia. Bukan hanya menjaga sungai, tetapi juga menjaga hewan maupun tumbuhan
yang berada di sungai itu.
Wai yang semula salah paham, akhirnya menyadari betapa pentingnya menjadi penjaga sungai. Bahwa menjaga sungai adalah bagian dari menjaga kehidupan itu sendiri. Apalagi menjaga sungai dari sampah yang dibuang begitu saja oleh sungai.[]


.jpeg)
Komentar
Posting Komentar