Catatan Perenungan Diri

Mencari Diri Yang Lain



https://www.pexels.com/photo/adult-agriculture-alone-attractive-277013/

    Kebenaran yang seperti apa yang paling dikehendaki oleh diri manusia? Kebenaran yang berangkat dari kesepakatan yang lahir demi kepentingan bersama, ataukah kebenaran relatif dalam artian kita menanggap kebenaran versi masing-masing dan mengklaim hal itu sebagai kebenaran yang tak bisa dipertentangkan dengan yang lain?

Melacak kebenaran seumpama mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kadang menjadi hal yang musykil, tetapi juga di sisi lain menjadi keharusan bagi setiap orang yang mempercayai dan mencari tahu apakah kebenaran itu sesuatu yang riil di realitas? Dalam artian, suatu kebenaran yang bersifat niscaya yang bisa diterima oleh semua orang tanpa tapi.

Lebih dari itu, keinginantahuan akan kebenaran mengenai tentang benar atau salah kerapkali menjadi pertanyaan yang paling asasi bagi tiap diri. Sebuah pertanyaan yang takkan pernah mengenal kata ‘pensiun’ dari pikiran manusia. Namun, untuk mencapai suatu kebenaran yang paling hakiki, takkan mungkin manusia langsung secara ‘instan’ mencapainya begitu saja. akan ada proses panjang yang tak berkesudahan bagi diri setiap orang untuk memperolehnya.

Maka, mengaktulisasikan akal sebagaimana mestinya haruslah menjadi sesuatu yang wajib bagi setiap orang. Dalam artian, berani membiarkan diri untuk berpikir sebebas-bebasnya tanpa terkungkung oleh dogma maupun norma yang berkembang di masyarakat. Kita perlu punya alasan yang paling logis dibalik setiap apa yang kita patuhi, bukan sekedar ikut-ikutan tanpa tahu apa sebenarnya tujuan dibalik setiap tindakan yang kita lakukan begitu saja berdasar pada apa yang juga dilakukan oleh orang lain.

Tanpa kita mau menyelami apa yang ada di realitas dengan beragam pertanyaan, bagaimana kita mau menemukan sesuatu yang ingin dipercayai dan diyakini sepanjang hidup? Namun, pada posisi ini juga harus sadari bahwa kebenaran yang kita ketahui juga turut sejalan dengan pengetahuan yang kita peroleh.

Namun, perlahan-lahan entah mengapa kita seringkali tergesa-gesa untuk harus segera tahu segala hal begitu saja, tanpa berproses secara bertahap-tahap. Kita ingin segera mencapai puncak, tetapi tak menyadari kalau menuju puncak memerlukan perjalanan panjang dan terjal yang tak semua orang mampu untuk menapakinya.

Inilah diri kita—atau tepatnya diri saya sendiri. Diri yang selalu ‘memaksa’ untuk menerima beragam jawaban dari segala pertanyaan yang menggelisahkan keseharian. Padahal, jika berani untuk bersabar, berani berikhtiar untuk pelan-pelan memahami sesuatu sedikit demi sedikit. Tidak terburu waktu untuk segera berada di tahap yang paling tahu sekaligus paham. Karena, kehidupan ialah perjalanan untuk mengenali apa yang ada di luar diri melalui dalam diri sendiri.

Kita mungkin seharusnya membiarkan diri untuk bertanya untuk apa menjalani segala sesuatu secara bertahap-tahap? Sebagaimana tetesan air yang berhasil melubangi sebuah batu. Ataukah kita harus melesat cepat seumpama roket yang bisa sewaktu-waktu jatuh dan meledak begitu saja? Ah, betapa kita mudah terburu nafsu untuk menguasai sesuatu—bahkan jika hal tersebut sesuatu yang baik.

Apakah mungkin tahap per tahap yang bergulir secara perlahan-lahan menjadi medium menempa diri sendiri dari kejaran sisi kebinatangan dari dalam diri manusia itu sendiri? Dalam artian, pemikiran ideal haruslah yang mampu mendidik diri dengan melepaskan atau mengurangi dominasi kuasa yang berasal dari diri manusia.

Sepertinya itu bukan hal yang mudah. Akan tetapi, selalu ada manusia-manusia yang menjadi teladan bagi sesama. Yang menjadi panutan bagi orang-orang yang ingin memiliki hidup yang bermakna, tetapi terburu-buru untuk segera bermakna secara material belaka, dan mengabaikan sikap menjalani hidup secara perlahan dengan kesadaran. Padahal, hidup yang dijalani dengan kesadaran penuh secara bertahap-tahap merupakan hidup yang bermakna itu sendiri.

Hidup yang bermakna, tetapi tak sesederhana apa yang terlintas dalam benak kita tentang cara menjalani hidup yang utuh tanpa mengalami gesekan dengan realitas di luar diri. Seperti itulah sebagian dari hidup kita yang terlalu diburu beragam ‘tuntutan untuk harus menjadi seperti ini-itu dalam sekejap mata. Seakan-akan kita para Power Rangers yang bisa segera berubah, ketika diperhadapkan dengan musuh-musuh yang mengancam keberlangsungan manusia.

Namun, apa jadinya kalau manusia menjadi musuh bagi sesamanya? Bahkan musuh bagi dirinya sendiri. Ketika diperhadapkan dengan diri sendiri, seketika kita terkadang kepayahan hingga tak tegaan untuk menyakiti diri sendiri dengan hal-hal yang serba tak ‘enakan’ hanya karena menjadi bagian paling dekat dengan diri kita. Padahal, ia bisa saja menjadi musuh yang paling lihai membunuh diri tanpa pernah disadari.

Lantas, bagaimana kita mampu mengatasi sifat pemberontak diri sendiri yang bisa naik-turun begitu saja? Apa yang harus kita lakukan pada diri yang doyan memandang rendah diri sendiri? Yang dengan mudah menghakimi diri secara terus-menerus.

Menjalani hidup secara perlahan tetapi dinamis terkadang bisa menjadi kunci untuk mengatasi segala kegalauan hidup yang serba ingin cepat. Sebagaimana diri yang seringkali keterlaluan memaksa diri untuk harus segera menjadi ‘manusia’ sebagaimana harapan orang lain yang kadang melelahkan dan mengasingkan diri sendiri.

Lantas, apa yang paling diinginkan dari diri sendiri? Tak ada yang tahu selain diri sendiri. Akan tetapi, untuk mampu mengenali diri maka diri harus terlebih dulu untuk harus menerima sisi lain diri yang dianggap kurang oleh kita.

Komentar

Postingan Populer