Mengulik Novel Le Mariage: After Wedding karya Pradnya Paramitha
Mengulik Novel Le Mariage: After Wedding karya Pradnya Paramitha
Judul:
After Wedding
Penulis:
Pradnya Paramitha
Penerbit:
Elex Media Komputindo
Tahun
Terbit: 2016
Apakah
Reya dan Rad menikah karena dijodohkan? Tidak. Mereka menikah atas persetujuan
mereka sendiri untuk membangun rumah tangga yang berpijak pada komitmen dan
menghargai segala pilihan pasangan atas apapun yang mereka ingin lakukan.
Terdengar seperti sebuah pernikahan yang dimpikan oleh semua orang, ya? tetapi,
di situlah letak awal mula segala drama dan problematika yang menghujani
mereka.
Menikah
dengan orang asing, yang baru pertama kali ditemui rooftop restoran, dan
langsung dilamar dengan hanya bermodal obrolan berdurasi sejam doang.
Itulah pilihan terbodoh dan tergila yang diambil oleh Reya—dosen muda ilmu
politik yang perasaanya digantung oleh mantan pacar. Kurang dari sebulan
setelah kejadian aneh tersebut, Reya memantapkan pilihan untuk menjadi istri
Rad—seorang chef celebrity.
Pilihan
yang diambil Reya memang tak bisa dipungkiri sebagai suatu putusan yang
terkesan gegabah dan kemudian hari akan berdampak buruk bagi dirinya sendiri.
Hal ini bisa dimaklumi dengan situasi yang dialami Reya yang mau tidak mau
memaksanya untuk melarikan dirinya dari masalah, alih-alih menyelesaikan
masalahnya dengan mantan pacarnya Hario. Pada di sisi yang lain, Reya juga
mengalami tekanan psikis karena berulangkali direcoki dengan pertanyaan kapan
menikah oleh bibi-bibinya. Bahkan, seorang bibi memburunya dengan sepenggal
kalimat kira-kira seperti ini, “Kalau kamu aja belum, gimana adik-adik kamu,
Rey.”
Jika
Reya kelamaan menikah, maka adik-adiknya juga harus rela menunggu lama, hingga
dia menikah, baru mereka juga bisa menikah. Bukankah ini situasi yang agak
sulit jika dilihat dari kaca mata Reya? Dikhianati dan perasaan insecure mantan
pacar, ditodong kapan menikah dan sekelebat ketakutan lainnya, malah membuatnya
memilih mengiyakan tawaran Rad. Sebagaimana Reya, Rad juga mengalami situasi
yang mengharuskannya menikah, apalagi kalau bukan titah untuk segera menikah
oleh Jessy—neneknya yang perlahan sudah beraroma tanah di usia 93 tahun.
Permintaan yang sulit, tetapi harus disanggupi walaupun Rad tak tertarik ingin
menjalin cinta dengan perempuan manapun. Karena ‘sesuatu’ di masa lalunya yang
membuatnya mati-matian untuk tidak menyukai seseorang, selain mencari perempuan
yang bisa diajak bekerja sama sebagai sepasang suami-istri bermodal komitmen
semata, tanpa harus ada rasa saling suka satu sama lain. Titik.
Bila
menilik akar masalah yang dihadapi oleh Reya, tak terlepas dari kecenderungan
dirinya untuk diakui dan menemukan kejelasan dari hubungan yang dia jalani
bersama Hario—mantan pacarnya. Hubungan yang terjalin bertahun-tahun tanpa ada
kejelasan ke arah mana hubungan tersebut diarahkan. Jika dilihat dari dari
kacamata falsafah perempuan, kecenderungan Reya tak terlepas dari pengakuan
akan eksistensi dirinya sendiri. Mendambakan hubungan yang benar-benar jelas
merupakan bentuk lain dari pengakuan eksistensi seorang perempuan, terutama
dalam relasi hubungan pacaran yang telah berada dijenjang yang lebih serius.
Namun,
kecenderungan akan pengakuan itu berbenturan dengan rasa inferioritas dari
mantan pacarnya. Karena, Hario berada di level dalam hirarki kelas sosial yang
berada dibawah Reya—baik dari segi jabatan dan ekonomi. Hal ini yang menjadi
bumerang yang melunturkan maskulinitas Hario, ketika diperhadapkan dengan
realitas ditengah-tengah masyarakat. Sebab masih ada anggapan kalau posisi
laki-laki harus lebih tinggi daripada perempuan—terutama dari segi jabatan dan
ekonomi.
Mau
tidak mau, Hario lebih memilih melarikan diri dari tuntutan kejelasan mengenai
hubungan antara dirinya dan Reya. Sebelum akhirnya Hario berujung pada
permainan hubungan palsu dengan seorang perempuan lain demi uang, yang nanti
digunakan untuk membiayai ayahnya yang sedang sakit. Pelikkah? Iya, tetapi
itulah yang menjadi alasan terbesar Reya berhenti untuk berharap pada Hario dan
menerima tawaran Rad.
Pernikahan
Reya-Rad menjadi kesepakatan sekaligus keuntungan bagi mereka berdua untuk
terbebas dari beragam tuntutan dari dua keluarga besar, sekaligus ia melarikan
diri dari Hario dengan membuktikan dirinya tetap bisa baik-baik saja tanpanya. Walaupun
pada akhirnya, Reya menyesali pilihan tersebut. Karena, ia menyadari esensi
pernikahan yang sebenarnya ialah membangun rumah tangga yang bahagia yang
berlandaskan pada cinta, bukan berdasarkan kesepakatan yang muncul akibat tak
tahan dengan berbagai bisikan dan tuntutan. Suara mereka terbungkam oleh apa
yang dianggap benar oleh orang lain yang memiliki kuasa atas diri mereka.
Sekalipun
begitu, pernikahan yang mengikat Reya-Rad telah sah dihadapan hukum dan agama,
selanjutnya, pernikahan seperti apa yang dikehendaki terserah pada diri mereka.
Tetapi, di sinilah beragam sisi lain Rad ditampakkan. Jika di bab-bab awal
membahas situasi kegentingan percintaan Reya, pasca pernikahan kita akan
melihat situasi Rad yang memiliki jalinan erat dengan masa lalunya—asal muasal
Rad memilih berprinsip untuk tidak pernah jatuh cinta pada siapapun.
Dahulu,
Rad pernah menyukai seseorang sepanjang masa remajanya. Hubungan cinta sepihak
yang dialaminya berujung menjadi petaka, ketika ia dan Kinanti? tak sengaja
mabuk-mabukkan di pesta lajang sebelum Kinanti menikah. Naas, mereka berdua
melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan, akibat dibawah pengaruh
alkohol. Kinanti mengandung anak Rad, tetapi ia tidak ingin menikahi Rad.
Its okay, Rad memilih tetap berkomitmen akan selalu ada untuk mereka berdua—Kinanti
dan Joshua—anaknya.
Masalah
kian pelik, saat Reya dan Rad perlahan saling menyukai satu sama lain. Rad menyukai
Reya, tetapi rasa bersalahnya pada Kinanti dan Joshua berdampak besar pada
pilihan hidupnya sendiri. Well, Terkesan begitu drama. Tetapi, itulah
yang terjadi. Pilihan terbesar yang diambil Reya ialah memilih kembali ke
kampung halamannya, ketika sedang libur panjang. Reya mengambil tindakan
tersebut, ketika ia menyadari rumah tangga Kinanti dan suaminya sudah diujung
tanduk. Dan hanya menghitung waktu untuk Kinanti bergelar Janda.
Well, Novel ini berakhir bahagia, lebih jelasnya bisa silakan teman-teman membaca buku ini.
Apa
hikmah yang bisa kita ambil dari Novel di atas?
Novel
ini banyak mewakili kegelisahan kaum muda, yang sebagian besar dikejar-kejar
tuntutan dan tekanan hidup. Namun, di sini lebih banyak berfokus pada relasi
yang terbangun di antara tokoh-tokoh utama. Kehidupan, percintaan dan
pekerjaan bercampur menjadi satu. Dinamika konfliknya kian kuat, ketika cara
pandang patriarki yang berkembang di tuturkan dalam narasi keseharian tokoh
utama perempuan, ketimbang tokoh utama lelaki. Ya, kita tak pungkiri patriarki
selalu berusaha menyandung kehidupan kaum perempuan.
Pengaruh
psikis juga berpengaruh pada setiap keputusan yang diambil oleh tiap tokoh
utama. Rad dengan ‘rasa bersalahnya’ berpengaruh pada kehidupan dirinya sendiri.
Reya dengan penyesalan dan kekecewaan pada ‘mantan’ begitu menekannya. Novel
ini menyadarkan pada kita untuk benar-benar harus berdamai dengan masa lalu.
Terkadang masa lalu menjadi bumerang tersendiri bagi kita, dan sewaktu-waktu
bisa meledak kapan saja tanpa pernah disadari. Tetapi yang paling ingin saya
cermati ialah komunikasi dalam relasi antara satu sama lain. Saya percaya,
suatu hubungan yang ideal takkan pernah bisa tercipta begitu saja tanpa
memiliki komunikasi yang baik.
Psikis
dan komunikasi adalah dua faktor penting dalam membentuk
berbagai hubungan termasuk urusan percintaan. Dalam konteks relasi Reya-Rad
maupun dengan hubungan mereka berdua dengan belahan hati mereka sebelumnya, ada
jarak yang terbentang antara satu sama lain, tetapi tak menjadikan dialog
sebagai upaya untuk mengenali diri mereka masing-masing—sekalipun dalam konteks
cinta bertepuk sebelah tangan. Perempuan dan laki-laki memiliki kecenderungan
yang berbeda-beda, dan akan sulit jika tak saling mengenal kecenderungan tersebut.
Namun,
jika kita mengenal lebih jelas dan jeli jalan cerita dari novel 445 halaman
ini, saya menyadari betapa manusia harus memiliki kesadaran dan konsekuensi
atas apa yang mereka lakukan. Sekalipun ini cerita fiksi, tapi ada secuil
potret demi potret yang mewakili kehidupan orang-orang pada masa kini. Ada
sebagian orang yang berusaha hidup dengan berpura-pura baik-baik saja,
sekalipun dalam dirinya tidak sedang baik-baik saja. Melarikan diri dari luka
batin, tanpa mau mengobati luka batin itu dan mengharap orang lain yang
mengobatinya. Padahal, diri kitalah yang harus belajar mengobatinya dengan
menerima dan belajar dari masa lalu.
Semoga,
kita semua sama-sama belajar untuk mengenali diri kita sendiri sebelum
mengenali orang lain. Tidak menjadikan perasaan suka kita pada orang lain
sebagai nadi kebahagian diri kita. Semua orang harus terlebih dulu berbahagia
atas dirinya. Bukan orang lain. Kita tak boleh melupakan kebahagiaan diri kita
demi memperjuangkan kebahagiaan orang lain. Karena, cinta akan saling
membahagiakan, bukan hanya membahagiakan hanya satu pihak saja dan pihak yang
lain tidak. Itu namannya bukan cinta, tetapi ego.
Sanana,
01/08/2022
.png)

.jpeg)
Komentar
Posting Komentar