Sebuah Catatan Refleksi Dari Kumpulan dari Kumpulan Cerpen Rumah Ilalang

 

 


Bagi saya, kumpulan cerpen yang termaktub dalam Rumah Ilalang begitu carut-marut dari tiap sudut pandang tokohnya. Segala hal begitu rumit, ketika diperhadapkan dengan realitas objektif (luar diri). Beberapa minggu belakangan, saya menemukan benang merah dari cara pandang pragmatisme dalam buku cerpen tersebut. Barangkali ini hanyalah sebuah catatan kecil mengenai kesan mendalam dari cerpen yang telah mengenalkan saya pada Tabita, dan memikirkan sosok Tabita lainnya di luar sana.

Tabita sosok yang begitu kontras. Ia ingin menemukan kedamaian dirinya dengan melawan arus dan hegemoni suara mayoritas. Ia memberontak dengan kebebasan memilih keyakinan yang paling membuatnya merasa damai dan tenteram, tanpa dihujani penghakiman dari sesama. Suatu fenomena yang ganjil, ketika mengaku hamba Tuhan, tetapi disisi lain menghakimi pilihan yang dipilih orang lain, karena tak lagi menemukan jawaban atas apa yang dialami oleh Tabita.

Kaum minoritas bukan hanya kehilangan diri mereka, tetapi juga kehilangan hak-hak atas kemanusiaan diri mereka sendiri. Termasuk untuk hal-hal kecil, yang kerapkali tak dianggap penting oleh kaum mayoritas. Bagaimana saya menuliskannya ya, cerpen ini bukan hanya mencerminkan fenomena diskriminasi yang terjadi di masyarakat. Tetapi juga mengkritisi sesuatu yang paling mendasar dari dalam diri manusia yakni kemanusiaan.

Dalam penafsiran saya, saya berpikir kemanusiaan takkan bisa hadir dalam diri seseorang, jika hanya melihat segala sesuatu dari aspek material semata. Kita masih mengotak-otakan segala hal tanpa pernah mau membuka segala sekat dari kotak tersebut. Kita beryakinan berdasarkan pada apa yang nampak dan menjadi dogma melegitimasi cara beragama kita pada masa kini. kita yang memilih hidup seumpama burung dalam sangkar prasaangka.

Cerpen yang kompleks. Menjadi minoritas salah, menyembunyikan identitas diri juga salah. Pun, yang kadang lupa kita pelajari ialah bagaimana rasanya berada di posisi mereka? Menjadi kaum yang membungkam suara hati mereka, demi terlihat normal dan diterima di masyarakat. Apakah mereka ingin menjadi seperti mereka yang sedang mengalami krisis identitas, karena tubu dan jiwa mereka yang saling berseberangan? Entahlah. Saya bingung ingin menangkapinya.

Beragam salah, tidak beragama salah. Tetapi satu yang benar, kita semua percaya dan menyakini Maha Tak Terbatas di realitas yang terbatas. Begitu juga dengan Tabita, sekalipun ia harus mengorbankan keyakinan dirinya, untuk menemukan dirinya yang lain. Menemukan Tuhan dalam ketenangan yang ia lakukan di tempat lain. Ia tak muluk-muluk, mencintai Tuhan dan pelayan Tuhan, yang jelas-jelas pertentangan dengan keyakinannya.

Namun, lagi-lagi ia menyadari ia membutuhkan kedamaian jiwa. Sebab, kedamaian dalam diri adalah kebutuhan jiwa yang paling sublim dan paling dekat dengan diri manusia dibanding apapun. Barangkali ini juga keberanian Tabita untuk menemukan kedamaiannya sendiri, walaupun di penghujung akhir hayatnya harus mengalami drama secara beruntun?

Komentar

Postingan Populer