Menilik Fenomena Beragama dari Lirik Lagu Jika Surga Dan Neraka Tanpa Pernah Ada

Image by Pinterest

 

 Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud pada-Nya?

Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyebut nama-Nya?

 

Tiba-tiba saja, saya menyanyikan sepenggal lirik lagu yang dulu kerapkali saya dengarkan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Lagu yang berjudul jika surga dan neraka tak pernah ada, yang dinyanyikan oleh Alm. Chirsye bersama Ahmad Dhani. Sekilas, mungkin seperti sebuah lagu yang bernuansa religi pada umumnya. Namun, bila kita cermati lebih dalam mengenai lirik demi lirik kandungan lagu tersebut, kita akan menemukan makna yang sangat luas terkait dengan cara beragama kita pada hari ini. Bahkan, bisa jadi lagu ini menjadi cerminan dari fenomena beragama dari sebagian kelompok di masa sekarang yang cenderung agak keras.

Pasalnya, sebagian besar orang-orang mengklaim surga-neraka sebagai kepemilikan pribadi, hingga berduyung-duyung mengajak orang lain untuk beribadah dengan embel-embel agar mendapat tiket menuju surga. Agar seseorang memperoleh kehidupan yang sarat kebahagiaan dan menjauhi segala perbuatan yang menjerumuskan ke neraka. Lantas, apabila surga dan neraka tak pernah ada sebagaimana lirik di atas? Apakah manusia akan senantiasa bersujud padaNya tanpa mengharapkan apapun?

Sebuah pertanyaan yang perlu direnungi. Kita acapkali masih terpengaruh doktrin agama yang cenderung bias dalam memaknai ibadah. Sejatinya, ritus ibadah yang dilakukan oleh manusia merupakan tugasnya sebagai hamba-Nya. Surga dan neraka bukan urusan yang berhak untuk kita campuri, apalagi dengan mengklaim. Sebab, surga dan neraka merupakan hak pregoratif Tuhan, yang tak bisa asal klaim dari manusia.

Fenomena beribadah hanya karena ingin surga, dan takut neraka telah mempengaruhi cara pandang dalam melihat ibadah itu sendiri. padahal, ibadah sebenarnya adalah bertautan erat antara keyakinan dengan penyerahan diri yang sungguh-sungguh pada-Nya dan tak ada selain-Nya. Namun, sayangnya nilai-nilai vertikal antara Tuhan dan hamba-Nya yang kemudian termanifestasikan dalam hubungan horizontal hamba dengan sesama mengalami pergeseran makna. Ibadah yang seharusnya menuntun manusia untuk saling menebar kasih, malah berbalik menebar benci.

Hal tersebut tak terlepas dari pemaknaan agama yang sebatas ditafsirkan secara bersifat tekstual dan mengabaikan konsteks dari ajaran agama. Orang berlomba-lomba berburu pahala bukan agar senantiasa dekat pada-Nya. Melainkan dekat pada surga dan neraka. Menuhankan segala amal kebaikan yang dikerjakannya, dan hanya menganggap diri yang paling benar. Seharusnya, surga dan neraka bukan alasan utama kita beribadah. Toh, dua hal ini juga merupakan hasil ciptaan-Nya.

Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khattab ra., bahwa Rasullah SAW, bersabda, “Semua perbuatan tergantung dari niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barang siapa niat hjrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahi, maka hijrahnya adalah kepada apa yang diniatkan.” (H.R Bukhari dan Muslim) Maka, sudah semestinya kita lebih memaknai kembali niat yang ada dalam diri sebagai seorang yang beragama dalam menunaikan kewajiban kita.

Kita perlu belajar dari kisah sosok sufi perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah yang terkenal dengan konsep mahabbah. Diceritakan suatu hari ia menenteng seember air dan sebuah obor dengan tujuan membakar surga dan memadamkan api neraka. Agar, orang-orang yang beribadah tidak semata-mata karena takut neraka dan ingin surga, melainkan hanya karena cinta pada-Nya. Ketika ibadah hanya dilekatkan pada surga dan neraka, bahkan dalam berbuat baik dan buruk lagi-lagi hanya bersinggungan dengan hal tersebut, secara tidak langsung hanya akan membuat orang lebih tertekan dalam beribadah. Padahal, seharusnya ibadah itu harus mendatangkan ketenangan jiwa, dan itu bersumber dari kecintaan pada-Nya. Tanpa cinta, kita tak bisa temukan kedamaian dalam diri, selama hati dan pikiran kita masih dikuasai oleh hasrat untuk bisa memperoleh tiket promo surga gratis.

Lantas, ibadah seperti apakah yang kita lakukan? Jangan sampai selama ini orang-orang lebih sibuk mengurusi surga dan neraka, hingga lupa mengurusi untuk mensurgakan pikiran dan jiwa  dari ketamakan beribadah, yang bersumber dari klaim kebenaran atas surga dan neraka. Seharusnya ibadah harus menjadi medan juang merendam segala ego dan hasrat yang senantiasa merasa diri yang paling benar. Sebab, manifestasi sesungguhnya ialah ketika kita mampu menebarkan pesan kedamaian dari ajaran agama. Wallahul alam[]

Komentar

Postingan Populer