Refleksi Daras Filsafat Sesi I

 

Gambar diambil dari Pinterest

Refleksi Daras Filsafat Sesi I

Oleh Hilda Fpon (Pegiat JAKFI Kepulauan Sula)

 

Pemikiran manusia akan esensinya telah ada sepanjang peradabannya. Maksudnya, esensi penciptaan manusia menjadi cikal bakal untuk mencari tahu segala sesuatu yang berkaitan erat dengan jiwa, yang bersifat metafisik melalui intuisi yang berasal dari dalam diri manusia. Pengetahuan akan penciptaan tersebut, membawa manusia menyakini kekuatan yang tak terbatas di luar dirinya melalui realitas dengan pendekatan jiwanya. Dari pemaknaan akan esensi itu pulalah manusia terdahulu mengekspresikannya dalam berbagai bentuk, salah satunya dengan adanya kepercayaan kuno.

 

Maka, sebelum adanya era Yunani kuno, manusia terdahulu telah berfilsafat melalui pengetahuan jiwa (nafs). Hal tersebut bisa kita cermati dari beragam peninggalan artefak kuno, yang turut menjabarkan sistem kepercayaan manusia. Pada fase ini, belum adanya karya yang menjabarkan akan pengetahuan tersebut, selain bukti artefak dan tradisi berbagi pengetahuan yang hanya melalui tutur lisan dari satu orang ke orang lain secara turun-temurun. Namun, sayangnya pengetahuan orang-orang terdahulu bersifat ekslusif, hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dan bersifat mutlak, sama sekali tak mengakomodir autokritik.

 

Pemikiran manusia akan esensi dan berbagai pertanyaan filosofis perlahan-lahan mengalami perkembangan secara tersistematis pada era Yunani kuno. Dimulai dengan munculnya kaum Sofis, yakni kelompok sarjana yang bijaksana. Pada fase tersebut, telah ditradisikan pembelajaran dengan adanya suatu lembaga seperti sekolah yang berisi pengajar dan murid. Namun, kemunculan kaum sofis juga turut menyisahkan masalah di masyarakat, karena hanya mengajarkan seni retorika yang cenderung bersifat galat dan rancu, sekaligus menolak kebenaran yang berujung pada skeptisisme.

 

Kaum sofis dianggap sebagai biang kerok atas hilangnya makna akan kebijaksanaan yang dilekatkan pada sofisme. Hal ini tak terlepas dari tindakan yang mereka lakukan, ketika hanya menjadikan kesarjanaan mereka hanya sebatas sebuah profesi belaka, dengan tujuan memenangkan suatu klaim dan memperoleh keuntungan. Hal tersebut kemudian dikritik oleh Socrates, karena telah menodai makna kebijaksanaan dan anti kebenaran melalui praktik yang berkontradiksi dengan gelar yang mereka kenakan.

 

Penentangan Socrates pada kaum sofis, atas dasar keberpihakan pada cinta kebijaksanaan. Bahwa suatu kebijaksanaan haruslah melahirkan konsistensi dan keberpihakan pada kebenaran. Bukan sebaliknya sebagaimana kaum sofis yang pragmatis, yang hanya menjadikan pengetahuan mereka sebagai alat untuk memperdaya dan menjarah orang lain demi keuntungan material.

 

Dari sinilah, menjadi asal muasal Socrates mengukuhkan dirinya sendiri sebagai seorang yang mencintai kebijaksanaan. Kecintaannya pada kebijaksanaan tak terlepas akan keyakinan dan kerendahan hatinya, perihal ketidaktahuannya akan segala sesuatu. Ia menyadari segala pengetahuan yang diperoleh manusia bersifat kebergantungan pada segala sesuatu yang berada di luar dirinya—yakni maha tak terbatas. Pengukuhan dirinya sekaligus tonggak awal mula nama filsafat dikenal dan menjadi lawan dari sofisme.

 

Filsafat bukan hanya menjabarkan terkait penalaran yang menuntun pada kebenaran, di sisi lain, filsafat yang dipelajari oleh orang-orang juga harus turut terisi oleh adanya subtansi keberpikiran yang matang. Tanpa adanya subtansi pemikiran yang matang, maka akan susah bagi seseorang untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam berfilsafat, yakni cinta kebijaksanaan. Sebab, sejatinya berfilsafat melahirkan pikiran, perkataan dan perbuatan yang konsisten dalam keberpihakan pada kebenaran di atas segala hal. Jika berfilsafat hanya melahirkan orang-orang yang tirani, mereka bukan berfilsafat, melainkan ber-sofis.

 

Wallahul alam bishawab

Sanana, 29/05/2022

Komentar

Postingan Populer