Agama Yang Menuntun Kita, Ataukah Kita Yang Menuntun Agama?
Agama Yang Menuntun Kita, Ataukah Kita Yang Menuntun Agama?
Refleksi Singkat Atas Buku Sosiologi Islam Karya Ali Syariati
Ijinkanlah
saya—seorang fakir ilmu untuk untuk menuliskan refleksi sederhana setelah membaca
buku karya Ali Syariati. Barangkali, judul yang saya tuliskan di atas tak
terlepas dari pertanyaan yang timbul dari diri saya. Berangkat dari pergumulan beragam
pertanyaan mengenai di mana posisi kita sebenarnya? Seorang penganut agama yang
menjalankan pesan-pesan agama, atau menjadikan pesan agama sebagai legitimasi kerakusan
kita pada sesama.
Kata
agama secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti cara hidup.
Menurut Ali Syariati, agama ialah jalan untuk dan sarana untuk menuju-Nya. Hal
ini merupaka suatu bentuk kesadaran akan eksistensi manusia sebagai subjek yang
meniti jalan untuk menuju-Nya. Maka, agama bukan hanya pada tataran tujuan belaka,
melainkan jalan untuk menuntun manusia mengenal-Nya dan mendekat pada-Nya.
Dalam
realitas objektif, kita lebih banyak menemui beragam fenomena yang terlalu condong
pada pengklaiman dan menjadikan agama hanya sebagai suatu ritus untuk mencapai
ketenangan jiwa. Kecenderungan-kecenderungan pragmatis untuk mencapai apa yang
tak bisa dicapai oleh tubuh secara material, dan beralih pada bagaimana agama
itu mampu memenuhi kekosongan jiwa terlebih hati, yang kerapkali mengalami
ketidakstabilan.
Seringkali
banyak ditemukan orang-orang yang menjadikan agama sebagai pelampiasan hasrat
untuk menguasai sesama. Sejatinya, beragama menjadi medium mengkondisikan jiwa
atas eksistensi kita. Apakah kita menjadi manusia bertipelogis sebagai Habil
atau Qabil di realitas? Sebab, tak bisa kita pungkiri beragama tak lantas
serta-merta menjadikan kita sebagai sesosok yang benar-benar menjadikan pandangan
tauhid sebagai basis pandangan dunia kita. Malah sebaliknya, kita malah
terjebak dan hanya sibuk mengurusi cara beragama yang cenderung individualistik
material.
Dalam
pandangan Ali Syariati, manusia sebagai mahluk dua dimensi yang dalam dirinya
ada kerendahan lumpur—asal muasal manusia, tetapi juga bersemayam roh Ilahi.
Maka, manusia memiliki potensi untuk diaktulisasi untuk mencapai kesempurnaan
diri. lantas, kesempurnaan seperti apa yang hendak dan harus dicapai oleh
manusia? Kesempurnaan akan keterlepasan diri dari beragam material yang
menghijabi diri sendiri—termasuk ego dan hasrat yang bersarang pada jiwa.
Cara
beragama kita hari ini, tidak menjadikan agama sebagai pijakan awal gerakan
kemanusiaan. Melainkan menjadikan agama sebagai basis pemberontakan kita pada
Ilahi, kita menjadikan ego, kerakusan, ketamakan dari dalam diri sebagai
Tuhan-tuhan kecil yang berkeliaran secara bebas di akal dan hati pikiran kita.
kita sibuk mengutip segala perintah agama sesuai dengan selera kita. Ketika,
agama tak lagi mampu mengakomodir segala ketamakan kita, kita dengan
keterlaluan mencerca agama bukan sebagai pembebas umat manusia, melainkan
sebagai penindas akan kebebasan birahi duniawi kita.
Dalam
pandangan Murtadha Muthahhari dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta, ia
mengatakan bahwa sebuah gerakan yang berbasis dari ledakan emosional belaka,
takkan menjadi sebuah gerakan yang beriorentasi secara ideal bagi manusia? Melainkan
secara perlahan-lahan malah melahirkan gerakan-gerakan yang menyiratkan penindasan
cara baru dengan tampilan yang paling anggun. Hal ini tak terlepas dari sebuah
gerakan yang hanya berpijak pada sisi emosional yang cenderung subjektif. Berbanding
terbalik, apabila gerakan yang diusung berangkat dari pijakan berbasis agama
dengan menjadikan pandangan tauhid sebagai pijakannya.
Kita
tak mungkin bisa memungkiri, jika dalam diri manusia tidak bisa bersemayam dua
hal yang saling pertentangan antara satu sama lain. Tiada dualisme yang saling
mengisi dalam diri manusia. Kita bisa mengklaim bahwa kebaikan dan keburukan
dari dalam diri bersifat seimbang. Sebab, hanya ada satu entitas tunggal, jika
kalau bukan kebaikan yang dikuasai diri, maka keburukan yang menguasai diri
sendiri. Begitu juga sebuah gerakan tak melulu pada wujud kolektifitas semata,
melainkan juga secara individual. Bagaimana mungkin sebuah gerakan kolektif melahirkan
suatu tatanan yang anti penindasan? Jika dari dalam diri individu masih tumbuh
subur penindasan atas diri sendiri.
Pada
akhirnya, kehidupan kita sejatinya perjalanan yang bersinggungan erat dengan
kekuasaan. Baik, dari luar diri dan di dalam diri. Kita memiliki kehendak atas
kekuasaan itu sendiri, menjadi penindas atau melawan penindasan itu sendiri. Jika
kita ingin melawan kedzaliman atas diri, maka kita akan berusaha untuk
menyerahkan diri pada Ilahi dengan dituntun oleh agama, bukan sebaliknya menuntun
agama untuk sesuai dengan selera kita untuk menguasai orang lain dengan kuasa
yang kita miliki. Wallahul alam bishawab.[]
Beragama
adalah jalan pemberontakan atas kepalsuan dan kesombongan diri. Beragama
harus berimplikasi pada penyerahan diri seutuhnya pada-Nya.


.jpeg)
Komentar
Posting Komentar