Refleksi Buku Diskursus dan Metode Karya Rene Descartes

 

 

Refleksi Buku Diskursus dan Metode Karya Rene Descartes

 


Dalam buku ini, Descartes mengajak kita untuk menelusuri sepenggal kegelisahan dalam melihat realitas semasa hidupnya. Tulisan sederhana dan apa adanya, karena tak ada pemaksaan kehendak untuk mengikuti apa yang beliau yakini sebagai suatu kebenaran. Siapapun berhak menerima maupun menolak segala gagasannya.

Sebagaimana yang telah diketahui, latar belakang hidup seorang tokoh turut berpengaruh pada pandangan dunianya dan berimplikasi pada pembentukan ideologi dalam tataran praktis, maka saya melihat beliau sebagai seseorang yang taat pada keyakinannya—tak terlepas dari lingkungan keluarga maupun pendidikan yang telah mendidiknya. Walaupun ada kebanggan tersendiri pada sekolah Jesuit-nya, beliau tak pernah sepakat dengan pembelajaran Aristotelian skolastik yang diajarkan di sekolah.

Descartes melalui pengembaraan semasa hidupnya—sebelum akhirnya memilih menetap di Belanda dan memulai perenungan-perenungan mengenai berbagai problematika yang menuntunnya pada kebenaran yang diyakini, dengan adagium Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Adagium itu terlepas dari keraguan yang menimpa dirinya—menurutnya keraguan yang dialami, berbeda dengan keraguan ala kaum Skeptis. Sebab, melalui keraguan itulah beliau menemukan kebenaran.

Keraguan memiliki andil besar bagi Descartes, karena melalui keraguan beliau menyadari keberadaan dirinya sebagai seorang yang berpikir, tanpa berpikir, apakah beliau mampu mengenali dirinya? ia menanggap eksistensi pikiran mendahului badaniah. Maka, keberadan pikiran lebih utama daripada badaniah. Badan yang secara indrawi hanya alat dan penopang bagi eksistensi pikiran.

Kebenaran tersebut tak terlepas dari peran penalaran. Bagi beliau, indra hanya sebatas alat untuk menangkap objek di realitas belaka, tak lebih. Rasio yang memainkan peran penting dalam memperoleh pengetahuan. Maka, kesadaran dirinya mengenai keraguan itu menjadi titik awal baginya menyadari kebenaran dan mulai menyusun kaidah-kaidah atau metode—agar seseorang memperoleh pengetahuan, bahkan kebenaran.

Namun, ada sisi menarik dari Descartes, karena beliau memisahkan prinsip yang digunakannya dalam penalaran dengan keyakinan pada Tuhan sebagai kebenaran yang asasi—menandakan pada kita bahwa keyakinan dan pengetahuan begitu berbeda—hingga masing-masing berdiri sendiri? Bukankah cenderung individualistik? Sebab, kebenaran asasi yang diyakini oleh Descartes bersifat privasi. Akankah dengan mempelajari kaidah-kaidah dalam buku ini turut mengiayakan kita pada apa yang diyakini oleh beliau?

Kebenaran asasi, maka hal tersebut bermula dari sebuah keyakinan yang telah ada dalam diri manusia—bahkan sebelum memperoleh pengetahuan yang ada di realitas. Sebagaimana dalam buku Falsafatuna karya Baqir Shadr mengenai penjabaran teori Rasional Cartesian—saya menyadari beliau—Descartes menyakini akan adanya innate idea (ide bawaan). Hal ini tercermin akan kebenaran asasi yang di mana, asasi merujuk pada segala sesuatu yang paling mendasar dan pokok dari manusia. Ide bawaan juga turut melanggengkan kuasa rasio atas indrawi. Apapun yang tertangkap oleh indra, hanya bersifat terbatas dan tak pasti.

Kecintaan Descartes terhadap kepastian mengantarkannya mempelajari matematika yang sarat akan kepastian, daripada ilmu-ilmu yang lain. Bagi beliau, hanya penalaran akan sesuatu di realitas yang menjamin keutuhan prinsip manusia. Maka, untuk mencapai penalaran yang baik, tak terlepas dari membiarkan diri untuk senantiasa merenung. Baginya, kemurnian nalar bisa terkontaminasi oleh pemikiran maupun kebiasaan masyarakat.

Ada empat prinsip menurut Descartes dalam membuat keputusan, sekaligus membantu memecahkan kesukaran yang terjadi. Pertama, tidak terburu-buru berkesimpulan dan berprasangka baik. Harus ditelusuri darimana asal muasal segala informasi yang diterima. Apakah sesuatu yang dianggap benar oleh orang lain adalah hal yang benar? Kedua, memilah-memilah setiap perkara atau kesulitan yang sedang dihadapi dalam konteks berpikir. Ketiga, berpikir secara runtut dimulai dari objek-objek sederhana hingga terkompleks. Keempat, verifikasi apapun yang kita terima.

Kedudukan nalar bagi Descartes adalah elan vital dalam melihat realitas secara objektif. Bagi beliau, apa yang dibayangkan oleh indra adalah hal yang tak pernah ada. Apalagi mengenai imajinasi eksperimen—hal yang tak bisa disamakan dengan nalar. Dalam ranah keyakinan pun, Descartes menyakini segala kesempurnaan milik Tuhan. Segala keterbatasan ada dalam diri manusia. Hanya Tuhan, tempat segala kesempurnaan—termasuk kodrat berpikir sebagai keyakinan dimiliki oleh manusia. Beliau menyakini kodrat berpikir dan badaniah saling berbeda satu sama lain. Manusia sulit mengenali Tuhan, sebab ketika ingin mengenali-Nya, mereka harus meningkatkan nalar berpikir dengan tidak bergantung pada segala sesuatu yang bersifat indrawi. Karena, Tuhan dan jiwa hanya bisa dikenali oleh nalar-nalar yang terbebas dari rabaan indra. Wallahul alam[]

Diskursus dan Metode | Rene Descartes | Penerj. Ahmad Faridl Ma’ruf | IRCiSoD | 2020 | 129 halaman | @ipusnas

Sanana, 17/07/2022

 

Komentar

Postingan Populer