BELAJAR BERTUMBUH DALAM KESABARAN
BELAJAR BERTUMBUH DALAM KESABARAN
Sudahkah
kita memeluk diri sendiri? Ditengah-tengah rutinitas yang menuntun kita
berinteraksi dengan orang lain, terkadang ada saja hal-hal yang selalu membuat
kita harus lebih berani untuk mengalah. Dalam artian, kita memilih untuk
mengikuti begitu saja ritme kehidupan yang telah ditetapkan orang-orang
terdekat pada diri kita. bahkan, mungkin juga hidup juga memberi kita sebuah
ritme peristiwa yang sebenarnya tak ingin untuk kita jalani, tetapi kita
berusaha untuk menjalaninya dengan sebaik-baik mungkin.
Ketika
kita ingin melanjutkan sekolah di sana-sini, mengikuti pelatihan di luar kota dan
beragam mimpi yang ingin dicapai, terbentur oleh ketidaksetujuan oleh orang
terdekat, terutama pihak keluarga yang dianggap support system,
terkadang malah menjadi faktor utama sebagian dari kita kehilangan semangat
untuk berproses. Tak pula, ada yang juga sengaja memilih untuk mematikan
potensinya hanya karena terbentur oleh kenyataan.
Namun,
apabila kita menerima kenyataan yang menyakitkan dan bertolak belakang dengan
segala tujuan hidup yang ingin dicapai, apakah kita telah dikalahkan oleh
kehidupan? Atau itu menjadi pemantik bagi diri kita untuk mengubah cara pandang
untuk berproses mencapai mimpi-mimpi? Maka, tepatlah untuk kita mengambil kesabaran
sebagai pembelajaran untuk melihat kehidupan dengan kacamata yang berbeda.
Jika
selama ini, kita melihat kehidupan dengan kacamata maskulin, yang terlihat dari
kecenderungan diri kita untuk menaklukkan dunia, maka kesabaran melahirkan
kecenderungan baru untuk melihat hidup dalam pantulan feminin. Bahwa, menjadi
sosok yang kesabaran dalam menjalani dan menerima kehidupan tak melulu
bertendensi negatif. Bahkan, sebagian besar ibu-ibu yang kita temui akan
kerapkali menasehati kita untuk lebih sabar dalam menjalani hidup.
Menjadi
sabar, bukan berarti kita hanya sekedar bersikap pasif dalam melihat kehidupan
dengan keengganan untuk menerima dan menolak untuk mengaktulisasikan potensi
diri, hanya karena kegagalan atas mimpi yang kita inginkan. Melainkan, pada
sisi yang lain, kesabaran ialah pembuka jalan utama bagi seseorang untuk
bertumbuh dalam keberanian dalam menghadapi hidup. Barangkali kegagalan yang
kita anggap telah mematahkan impian kita, pada sisi yang lain adalah hal yang
baik bagi kita, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah
ayat 216 yang berbunyi, “Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi
kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.”
(Surah A-Baqarah 2:216).
Penerimaan
atas takdir yang kita jalani dengan kesabaran melahirkan spirit kekuatan yang
berasal dari dalam diri untuk melepaskan jiwa kita dari belenggu material. Sebab,
tak bisa kita pungkiri berapa banyak setiap mimpi yang ingin kita capai, apakah
murni dari dalam diri kita? atau setiap mimpi yang kita hadirkan di pikiran dan
ingin diaktulisasikan di realitas ialah salah satu dari bagian dari memberi
makan ego keakuan kita? agar dianggap sama di mata orang lain sebagaimana
kawan-kawan kita lainnya yang telah berhasil dengan mimpi-mimpinya?
Kesabaran
tak mungkin bisa bersanding begitu saja dengan keegoan diri, karena adanya
tuntutan pengorbanan dari dalam diri, agar ia bisa berdiri teguh. Kita terlalu
memikirkan setiap pandangan orang lain terhadap diri, sehingga hanya
mengaburkan apa yang sebenarnya yang paling diinginkan oleh diri. Bahkan, tanpa
pernah disadari kita malah menjauhkan diri dari fitrah sebagai manusia, hanya
karena terlalu membandingkan diri dengan orang lain.
Jika
kita mau sejenak untuk merenung, dan belajar pada orang-orang tertua terdahulu,
kita menemukan bahwa manusia tak selamanya bersifat aktif, ada saatnya juga
bagi manusia untuk bersikap pasif pada kehidupan. Sebab, kepasifan hanya
bersifat pada tataran realitas materinya semata, lebih daripada itu, sejatinya
manusia sedang berusaha tetap aktif. Apakah keberadaan diri hanya sebatas
diukur dari eksis di ruang-ruang komunal? Dan mengikuti segala trend dan
orientasi kehidupan sebagaimana orang kebanyakan?
Kita
menemukan kesabaran sebagai kekuatan hati terbesar dalam diri perempuan. sebuah
kekuatan yang menjadi basis bagi kita untuk menjalani kehidupan dengan penerimaan.
Bahwa, derajat kesabaran yang diresapi oleh kita, akan menuntun hati kita pada
apa yang ada dibalik realitas. Bukankah sebaik-baiknya kehidupan yang dijalani
harus mengarahkan kita pada kebahagiaan secara lahir dan batin? Maka,
darimanakah kita bisa memperoleh sebuah kebahagiaan, jika dari dalam diri
enggan menerima kesabaran sebagai salah satu piranti mencapainya?
Kesabaran
mendidik jiwa kita untuk benar-benar mempertanyakan apa sebenarnya keberadaan
diri dan akan kemanakah diri? Jika kita mencapai mimpi begitu saja, bukankah
kita tak bisa lebih intens merenungi kehidupan? Bukankah kendala demi kendala
mengajarkan diri untuk terus memupuk kekuatan. Karena, sejatinya kekuatan yang
tumbuh dari kesabaran atas segala garis kehidupan yang diberikan oleh-Nya pada
kita, menjadi tuntunan bagi jiwa untuk berserah sepenuh hati, tanpa ada
pengklaiman atas segala derita. Bahkan, bisa jadi melalui kesabaran itulah kita
menjadi manusia yang insya allah bisa memanusiakan manusia. Wallahul alam[]


.jpeg)
Komentar
Posting Komentar