Menjadi Mawar di Alam Raya
![]() |
| Pexels.com |
“Perempuan bukan barang mati. Yang seenaknya
bisa dijadikan ‘barang’ hanya karena menjadi perempuan”
Dulu, saat awal-awal bergabung dengan
organisasi kemahasiswaaan, salah satu senior terang-terangan menyamakan perempuan
dengan mawar di dalam sebuah toples kaca yang dan baju bekas yang dijual di pinggir
jalan. Kala itu, saya manggut-manggut, membenarkan perkataannya yang
membandingkan perempuan baik dan buruk yang diwakili oleh dua barang, yakni
bunga mawar dan baju bekas. Kini, saya menyadari bahwa hal itu benar-benar
menyesatkan pola pikir.
Sebagai anak ingusan yang baru saja terjun
di dunia dinamika kemahasiswaan, perlahan tapi pasti, saya menemukan ada kejanggalan
dalam nasehat yang seringkali dilontarkan di hadapan kami. Sejak berkenalan dan
membaca buku-buku maupun kajian isu kesetaraan gender, saya ingin menggugat
pernyataan yang menurut saya secara tidak langsung merendahkan kaum perempuan.
Bagaimana mungkin menyamakan seorang
perempuan dengan benda mati yang tidak memiliki akal dan rasa? Mengidentikkan
perempuan baik adalah perempuan yang berdiam diri di sebuah toples kaca. Dan
perempuan yang buruk adalah perempuan yang mudah ditemui di pinggir jalan.
Narasi seperti ini hanya akan mengiring opini orang-orang dalam menilai kaum
perempuan. apalagi bila ungkapan ini disampaikan oleh orang-orang yang memiliki
relasi kuasa karena kapasitas pengetahuan yang dimiliki.
Padahal, kalau kita cermati secara baik-baik,
setiap pilihan yang dibuat oleh perempuan adalah hak mereka sendiri. Memilih
untuk berdiam diri di rumah maupun di luar rumah, bukan menjadi tolak ukur dalam
menilai kebaikan diri seorang perempuan. sebab, setiap perempuan maupun laki-laki
selalu memiliki kebaikan yang tak melulu bisa disadari secara nampak.
Selain itu, setiap perempuan yang berdiam
diri di rumah maupun di luar rumah bukan masalah. Sebab, perempuan maupun
laki-laki sama-sama memiliki potensi untuk diaktulalisasi di luar diri mereka,
yakni di realitas. Untuk mengaktualkan potensi tersebut, baik perempuan maupun
laki-laki harus berikhtiar untuk mengembakan diri dengan belajar.
Maka, menuntut ilmu dalam agama menjadi
suatu keniscayaan yang harus diwajibkan dalam diri manusia sebagai upaya mengembangkan
diri sebagai manusia yang seutuhnya. Lantas, apakah ilmu akan mendatangi diri
kita, ataukah kita yang harus mengejar ilmu? Sudah barang tentu, kitalah yang
harus mendatangi ilmu itu sendiri. Jadi, berada di rumah saja tak cukup untuk
memperoleh pengetahuan, tanpa membiarkan sepasang kaki kita melangkah menuju
ilmu.
Maka, pilihan kaum perempuan untuk ke luar
rumah semata-mata ikhtiar menuntut ilmu sekaligus mengaktualisasikan potensi adalah
hal yang tak boleh dilarang oleh siapapun. Sebab, itu adalah hak mereka sebagai
perempuan sekaligus manusia yang memiliki kedudukan yang setara dengan kaum
laki-laki. Sayangnya, berada di luar rumah menjadi sebuah tantangan tersendiri
bagi kita—kaum perempuan.
Karena, selama ini, stigma yang melekat yang ditempelkan pada diri perempuan. Bagaimana mungkin orang dengan mudahnya menuding perempuan yang tak baik adalah perempuan yang doyan keluyuran di luar rumah? Selain itu, anggapan perempuan yang pulang malam juga seringkali diidentikkan dengan hal-hal yang negatif. Hal yang sebaliknya tak dilabeli pada sebagian laki-laki yang juga gemar pulang malam.
Bahkan, orang-orang tak segan menghakimi
perempuan yang mengalami pelecehan seksual di rumah karena kesalahan diri
mereka sendiri? Padahal, adakah perempuan yang ingin disakiti? Seberapa
perempuan berusaha untuk menjaga diri dari beragam intaian dengan mengenakan
pakaian yang sopan pun tak luput dari godaan yang bernada seksis. Jadi, apakah
perempuan yang harus disalahakan? Bukankah perempuan juga perlu dilindungi?
Perempuan juga manusia, berhak untuk
mendapatkan perlindungan, bahkan berhak untuk tidak mengalami berbagai siulan
bernada seksis yang kerapkali dijumpai sepanjang beraktivitas di luar rumah.
aku, kamu, kita, mereka berhak untuk berjalan di sana-sini. Membatasi aktivitas
perempuan dalam rumah, secara tidak langsung kita sudah menyia-yiakan kapasitas
diri seorang perempuan.
Pada sisi yang lain, kita lupa menyadari
kalau perempuan sekaligus manusia berhak atas pilihan yang mereka inginkan. Berada
di rumah maupun di luar rumah adalah pilihan yang berdiri di atas kemanusiaan. Ada
perempuan yang berdedikasikan diri di rumah, ada juga yang memilih di luar rumah
sebagai jalan aktualisasi diri yang paling disenangi. Lantas, bukankah kita harus
sesekali menyadari diri sendiri? Kenapa memasung pilihan perempuan untuk menemukan
jalan hidupnya masing-masing.
Jauh dari rumah, bukan berarti perempuan
melupakan rumah sebagai asalnya. Melainkan menjadikan pelajaran dan pengalaman
di luar rumah untuk berbagi perenungan hidup antar sesama. Bukankah rumah yang paling
menyenangkan adalah rumah yang selalu berisi berbagai cerita menarik dari
penghuninya?
Akankah kita ingin menciptakan suasana
rumah yang hanya perihal tembok bertemu tembok semata? Membiarkan perempuan di
luar rumah takkan lantas menjadikan mereka perempuan buruk? Pun hingga sekarang
konsep keburukan bagi tiap orang selalu berbeda-beda. Selama kita tidak merugikan
maupun melukai orang lain, apakah kita dianggap buruk? Hanya gara-gara bukan
perempuan yang berdiam diri di rumah. Siapa tahu orang yang kita anggap buruk
adalah orang paling baik di hadapan-Nya.
Seseorang pernah berkata, seorang
perempuan akan benar-benar mengenali potensi kesejatian dirinya, saat dihantam
penderitaan hidup. Tak selamanya rumah akan menjadi ruang aman bagi perempuan. Terkadang,
rumah seringkali menjelma sarang harimau, saat perempuan hanya dianggap sebagai
manusia kedua daripada laki-laki.
Jika, orang-orang ingin melihat sosok mawar
yang sesungguhnya dari diri perempuan, biarkan ia bertumbuh di alam raya. Biarkan
ia diterjang gemuruh badai kehidupan yang mengemplengnya menjadi sosok mawar
yang anggun sekaligus berbahaya bagi para telapak tangan yang nakal yang ingin
menyentuhnya. Biarkan ia bertumbuh di alam raya. Biarkan ia menjadi pelindung
bagi sesama.[]





.jpeg)
Komentar
Posting Komentar