3 Hari Mencari Cermin Ajaib
![]() |
| Gambar dari Pexels |
Bagian II
“Engkau tahu, desa ini telah dikuasai oleh
mata-mata cermin. Berlalu-lalang memisahkan orang-orang tanpa pernah tahu apa
kesalahan yang dilakukan oleh setiao orang tersebut.”
Aku menganggukkan kepala membenarkan
ucapan Nenek yang telah menolongku, “Agak menakutkan, Nek. Karena orang-orang
dipisahkan dari tampilan luar dari diri mereka. Apa itu golongan tinggi atau
rendah. Sama sekali tidak penting. Orang-orang banyak ditindas karena terlahir
sebagai golongan rendah. Bahkan, mereka sama sekali memiliki hak untuk memilih
apa yang mereka inginkan. Apa yang diinginkan oleh golongan tinggi dianggap
sebagai keinginan golongan rendah.”
Nenek hanya diam dan mengenggam erat
telapak tanganku. Entahlah, aku seperti merasakan perasaan hangat yang
misterius menyelimuti suasana sekitarku. Apakah ini? Apakah akan ada sesuatu
hal yang besar akan terjadi di desa? Konon, orang-orang golongan rendah
percaya, ketika bertemu seseorang dan merasakan perasaan hangat maka akan
mengalami keberuntungan dalam waktu dekat.
“Nenek harus pulang. Sudah terlalu lama
toko Nenek ditutup,” Ia bergegas mengambil tongkat kayunya dan berjalan. “Nek,
apakah aku bisa bertemu denganmu lagi?” tanyaku buru-buru.
“Tentu saja, Nak. Ah, lupa. Lusa tanggal
14 Juni, datanglah ke toko Nenek yang berada di persimpangan kiri jalan tepi
sungai Waihifa pada pukul sembilan pagi,” jawabnya sembari terus berjalan.
“Aku belum tahu nama Nenek! Namaku Mardina!
Panggil saja aku Nana. Sampai jumpa lagi!!” teriakku pada Nenek yang telah
menaiki kereta kuda. Ia terasa begitu aneh dan misterius. Apakah ia berasal
dari desa tetangga? Ataukah pendatang yang sedang ingin mencari tempat tinggal
baru? Astaga! Atau jangan-jangan ia ingin menjajakan jualannya? Entahlah.
Tunggu. Tadi ia menyuruhku untuk pergi ke
tokonya yang berada di tepi sungai Waihifa. Bukankah di sekitar situ tak ada
toko? Bahkan tak ada rumah yang dibangun di sekitar situ, karena konon dianggap
bisa membahayakan orang-orang, sebagaimana dijelasan para tetua desa dan tentu
saja tentara cermin.
Sepertinya Kakek pernah mengatakan sesuatu
tentang toko itu.
“Nana! Ayo kemari, ada pembeli di toko!”
suara Paman Kasmir mengagetkanku dari lamunan. Aku buru-buru pergi ke toko
dengan langkah yang gontai tak bertenaga.
***
Kata Kakek, di persimpangan kiri jalan di
tepi Sungai Waihifa ada sebuah toko yang dijaga oleh sebuah cermin ajaib
bernama Hama Nana bertahun-tahun silam. Toko itu hanya menjual keinginan yang
hanya bisa dibeli dengan barang berharga yang dimiliki oleh calon pembeli. Di
dalam sana, ada wanita tua yang akan melayani pembeli dengan menuliskan satu keinginan
sekali seumur hidup. Seseorang hanya bisa membeli sekali untuk selamanya. Tidak
ada hal yang bisa dibeli duakali maupun tigakali.
Kakek juga menjelaskan, kalau toko itu
hanya bisa terlihat oleh orang-orang yang memiliki rasa keinginan yang besar terhadap
sesuatu yang ingin diwujudkannya. Sebuah toko yang hanya dibuka setiap lima
puluh tahun sekali pada pertengahan Juni. Sesuatu yang tentu saja tidak aku
percayai begitu saja.
Barangkali itu hanya cara agar Kakek
menghibur diriku yang kala itu sedang diejek habis-habisan, karena begitu takut
melihat cermin untuk pertama kalinya dalam tradisi bertemu cermin pertama kali
bagi anak-anak yang telah berusia sepuluh tahun. Sebuah tradisi yang telah
turun-temurun dijaga oleh penduduk desa sebagai kepercayaan melindungi
anak-anak di bawah umur sepuluh tahun dari pantulan cermin yang mempengaruhi
para anak dalam menilai diri mereka sendiri.
Namun, nyatanya aku berada di sini. Berdiri
menatap persimpangan kiri jalan tak jauh dari tepi Sungai Waihifa. Lamat-lamat,
di sana ada satu rumah tua yang hampir tertutupi oleh tumbuhan rambat. Apakah ini
toko yang dibilang Nenek? Tapi, kenapa malah membuka toko di tempat yang tak pernah
dilewati penduduk desa? Tempat ini bahkan dianggap sebagai tempat teraneh yang
tak pernah disinggahi dan dilewati oleh penduduk desa. Karena tak ada apapun di
sini, selain hanya padang rumput. Penduduk desa juga tak pernah menggembalakan
hewan ternaknya di sini.
Aku ragu-ragu mendekat ke rumah tua ini. Di
terasnya ada sebuah cermin seukuran jendela seperti sedang menjadi pantung. Kalau
di desa, sudah pasti cermin ini akan menggusirku, batinku. Tanpa terduga,
pintu terbuka dengan sendirinya. “Segera masuk, Peri Sopia telah menunggumu,”
cermin itu menyuruhku masuk tanpa bergerak sedikitpun dari posisinya.
Aku menginjakkan ke dalam rumah, “Astaga! Apa
ini?!!” Aku tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang.
Bersambung[]
.png)

.jpeg)
Astaga! Apa yang kulihat?
BalasHapusTerima kasih sarannya, Kak. Baru ngeh kalau penempatan katanya kurang pas.
HapusWaihifa itu, daerah mana, ya?
BalasHapusSebenarnya nama Waihifa hanya fiksi, Kak. Saya terinspirasi menamai sungai dengan kata Wai yang berarti air Dalam Bahasa daerah saya. Karena Di daerah saya, hampir sebagian besar sungai diawali dengan nama wai.
HapusDongeng enak didengar ketika mau tidur.
BalasHapusIya, Kak. Apalagi ngedongeng bareng keponakan. Rasanya seru!
HapusHm, apakah isi tokonya adalah keinginan yang selama ini Nana impikan?
BalasHapusIya, Kak. Sesuatu yang sebenarnya mengubah sudut pandang si Nana
HapusQuote nenek d awal cerita ini aku suka bgt. Jd penasaran Gmn kelanjutannya. Bagus bgt critanya. Gmn nana d dlm tokonya
BalasHapusSeru seru bikin penasaran sama sambungannya
BalasHapusMakasih, Kak. Akan dilanjutkan kalau sudah nemu waktu ngerjainnya.
Hapus