Memotret Akar Pelecehan Seksual: Sebuah Tinjauan Filosofis

Gambar dari Pexels


    Harus kita akui, selama ini masyarakat masih mengamini bahwa akar dari pelecehan atau kekerasan seksual bersumber dari ketidakhatian perempuan dalam menjaga dirinya, terutama didalam ranah publik. Hal tersebut bisa terlihat dari reaksi sebagian orang-orang, ketika mendengar kasus pelecehan, maka mereka berbondong-bondong bertanya mengenai pakaian yang dikenakan oleh korban. Bukan membela apalagi memberi empati pada korban yang bukan hanya menderita secara fisik, melainkan juga psikis.

Cara pandang yang menyudutkan perempuan, tak terlepas dari bias gender yang masih menganggap perempuan sebagai objek seksual semata, alih-alih subjek utuh sebagaimana kaum laki-laki. Pakaian perempuan diatur habis-habisan dari ujung rambut hingga kaki, dengan dalih kebaikan dan keamanan bagi kaum perempuan di ranah publik.

Padahal, setutup apapun penampilan perempuan, tak serta-merta menjamin mereka dari pelecehan/kekerasan seksual. Hal tersebut terbukti dari hasil riset yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, bahwa rata-rata korban yang mengalami pelecehan mengenakan pakaian yang tergolong sopan.

Lantas, apabila pakaian yang dijadikan tameng pelindung diri bagi perempuan, kenapa masih banyak fenomena pelecehan yang terjadi di mana-mana? Jawabannya adalah PIKIRAN. Iya, pikiran menjadi kunci dari akar pelecehan tersebut.

Akal yang tak mampu mengontrol hasrat dalam diri, maka akan menuntun hasrat untuk mencari jalan untuk keluar dan mengaktulisasikan didalam realitas. Ketidakmampuan akal tersebut, bukan hanya merugikan si manusia, tapi juga orang-orang sekitarnya yang menjadi pelampiasan hasratnya--termasuk dalam bentuk pelecehan seksual.

Ranah publik sebagai ruang berbaurnya perempuan dan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan, menjadi ruang yang selalu dibayangi letupan-letupan hasrat pada diri individu. Dibutuhkan sesuatu yang mampu menjaga keamanan dan memberi perlindungan bagi manusia, agar terhindar dari imajinasi liar (wahm) yang duapuluh empat jam bermunculan di pikiran di manapun dan kapanpun.

Islam menawarkan konsepsi hijab sebagai penjaga yang memberi perlindungan pada perempuan dan laki-laki di ranah publik, agar tercipta relasi sosial yang sehat. Percayalah, di dunia tak ada seorang pun yang mau menjadi korban pelecehan/kekerasan seksual, walaupun itu hanya di dalam pikiran.

Konsep hijab, berarti pemisahan dalam arti, memberi batas-batas tertentu. Di ranah publik, baik perempuan maupun laki-laki harus sama-sama membatasi diri mereka dengan mengontrol hasrat, tidak mencampurkan hasrat dalam pergaulan maupun pekerjaan apapun.

Hijab bukan ditujukan pada perempuan, melainkan juga laki-laki, karena mereka sama-sama memiliki hasrat. Walaupun di realitas, perempuan yang lebih rentan mengalami pelecehan/kekerasan seksual. Hal ini ini disebabkan, kecenderungan perempuan yang memiliki daya tarik alamiah.

Menghijabkan diri bukan hanya semata-mata oleh raga melalui pakaian, melainkan juga menghijabkan indera dan akal dari imajinasi liar, baik perempuan dan laki-laki. Hasrat sebagai fitrah manusia takkan pernah bisa menghilang dari dalam diri manusia, melainkan hanya bisa dikontrol dan dituntun untuk mencapai tingkatan tertingginya yakni cinta, melalui basis pengetahuan.

Tanpa pengetahuan, manusia akan sulit mengontrol hasrat tersebut. Sebab, ketidaktahuan untuk mengenali hasrat, dan cara mengontrolnya. Akal yang memiliki basis pengetahuan, akan mendidik akal melalui tazkiyat al nafs (penyucian jiwa) dan ritus ibadah yang berpijak pada penghayatan mendekatkan diri pada Ilahi.

Sejatinya, manusia adalah tuan dari segala hasrat yang bergejolak dalam diri. Membiarkan hasrat menguasai diri, maka manusia akan diperbudak oleh hasrat. Satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari jeratan hasrat ialah menjadikan jalan pengetahuan menuju-Nya sebagai basis pijakan mengontrol imajinasi liar (wahm).[]

Wallahul alam bishawab

 *Renungan Ngaji

Komentar

Postingan Populer