Refleksi Falsafah Perempuan

 

Gambar dari Pexels

    Dalam pandangan dunia Islam, perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sederajat, baik secara material, intelektual, maupun spiritual. Begitu pula perihal hak-hak dan kebebasan mereka yang telah diatur secara proporsional. Maksudnya, setiap hak-hak yang diberikan disesuaikan dengan kecenderungan kondisi masing-masing, kaum lelaki sebagaimana dirinya dan perempuan sebagaimana dirinya.

Hak-hak perempuan dan laki-laki juga turut dipengaruhi oleh perbedaan anatomi tubuh, fungsi biologis dan kondisi kejiwaan yang berbeda satu sama lain. Hal ini yang terkadang masih dianggap keliru oleh sebagian besar orang, dalam melihat kedudukan kaum perempuan. Sebab, masih banyak anggapan yang menuduh bahwa perempuan memiliki posisi dibawah laki-laki, hanya karena perbedaan tersebut.

Padahal, perbedaan itu sama sekali tidak merugikan maupun menguntungkan salah satu pihak, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Hal ini tak terlepas dari peran perempuan dan laki-laki sebagai manusia utuh sekaligus khalifah fil ardh yang sama-sama mengembang amanah Tuhan, dan saling bekerja sama untuk menciptakan tatanan kehidupan yang ideal sesuai ajaran Islam.

Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang cenderung menyeragamkan antara perempuan dan laki-laki, tanpa mengakomodir kondisi kekhasan dari masing-masing jenis kelamin. Bahkan, terkesan ingin menjadikan kaum perempuan sebagaimana laki-laki. Cara pandang seperti ini lebih condong pada cara pandang yang maskulin, menempatkan posisi perempuan dengan memakai kacamata laki-laki, jatuhnya pada mengklonakan atau membuat manusia laki-laki tiruan.

Berbanding terbalik dengan Islam, yang menjamin harkat dan martabat perempuan sesuai kondisi kekhususan yang dimiliki mereka dengan konsep perlindungan dan penjagaan dari kaum lelaki—terutama dari pihak terdekat, yakni keluarga untuk melindungi mereka dari hal-hal yang mendatangkan ke-mudharat-an. Misalnya, perempuan berhak memilih calon pasangannya sendiri, tetapi harus ada ijin dari walinya. Hal ini tak terlepas dari kecenderungan hatinya yang condong subjektif. Maka, penting untuk walinya untuk menilai calon pasangannya dengan pendekatan antara sesama lelaki, agar penilaian tersebut bersifat objektif.

Begitu pula dalam ranah pewarisan, kadang juga disalapahami oleh orang-orang bahwa waris bersifat adil. Padahal, sebenarnya konsep warisan satu laki-laki sama dengan dua perempuan memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan hak-hak mereka. Bagian waris laki-laki lebih besar daripada perempuan, karena mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menafkahi istrinya. Berbeda dengan kaum perempuan yang tidak berkewajiban memberi nafkah.

Namun, di realitas banyak hak-hak perempuan mengalami distorsi, yang jelas-jelas pertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang memuliakan kaum perempuan. Kita bisa melihat berbagai fenomena yang terjadi sangat merugikan kaum perempuan. Misalnya, pemaksaan pernikahan usia dini bagi anak-anak perempuan yang masih dibawah umur, dengan berdalih pada tradisi setempat dan alasan ekonomi. Perempuan menjadi korban pelecehan/kekerasan seksual yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan daripada lelaki. Ada juga, kasus kekerasan dalam rumah tangga maupun ranah pacaran yang lagi-lagi lebih didominasi kaum perempuan sebagai korban terbanyak.

Padahal, jika ditilik, beban yang diemban oleh kaum perempuan lebih besar daripada kaum laki-laki. Hal ini bisa terlihat dari lima pengalaman biologis perempuan yakni; menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, dan nifas, yang perlu diakomodir dan diberi perhatian lebih dari sesama. Sebab, pengalaman biologis perempuan juga diiringi dengan kesakitan yang bisa berdurasi beberapa menit hingga tahun. Bayangkan, berapa lama perempuan menanggung kesakitan tersebut!

Fenomena diskriminasi terhadap perempuan perempuan tak terlepas dari pengaruh sejarah sebagai salah satu sumber manusia memperoleh pengetahuan. Pembacaan sejarah yang keliru, akan berpengaruh pada cara pandang manusia dalam melihat eksistensi perempuan. terutama sejarah perlakuan Rasullah SAW., dalam memperlakukan perempuan dan penerusnya dari masa ke masa mengalami pergeseran makna.

Hal tersebut kian diperparah oleh pembacaan teks-teks ayat Al-Quran yang cenderung tekstual dan mengabaikan konteks dibalik ayat-ayat tersebut. Bahkan, ada juga penafsiran yang misoginis terhadap kedudukan perempuan dalam Islam. Padahal, indikator keimanan seseorang dinilai dari cara ia memperlakukan kaum perempuan, sebagaimana hadist yang berbunyi, “Tidak memuliakan kaum perempuan kecuali orang mulia dan tidak menghinakan perempuan kecuali orang yang hina.”

Kemudian, budaya maupun tradisi yang cenderung bias gender. Kita tahu bahwa budaya merupakan hasil olah pikiran, maka perubahan cara pandang dibutuhkan dalam melihat eksistensi perempuan seutuhnya sebagai manusia sebagaimana laki-laki.

Sejatinya, kemuliaan yang diberikan kepada perempuan adalah wujud penghormatan pada eksistensi perempuan sebagai sumber kehidupan, tempat di mana segala manifestasi kasih sayang Tuhan.[]

Wallahul Alam Bishawab


*Renungan Kajian

 

Komentar

Postingan Populer