Gerimis di Pertengahan Bulan Juni

 

Pexels


Barangkali puisi Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan Bulan Juni bukan hanya tentang perasaan kasih belaka, melainkan juga rasa kehilangan yang bertubi-tubi yang diungkapkan oleh anak-anak diksi itu hinggap begitu saja di langit-langit kepala. Perihal kehilangan yang telah merasuki jiwa dan raga di pertengahan Bulan Juni. Bukan hanya tentang deraian air mata awan nan mendung, tetapi juga kepergian manusia-manusia terkasih.

Pada genangan air di sepasang mata, ada begitu banyak kesakitan yang meluap-luap membanjiri pikiran dengan kenangan. Tentang mereka, manusia terkasih yang pergi tanpa saling bertukar janji kapan akan kembali bertemu satu sama lain. Mereka pergi meninggalkan sesama yang masih ingin merajut ikatan cerita bersama mereka. Berbagi cerita pada lembar demi lembar perjalanan hidup orang-orang yang mengasihi mereka.

Kepergian dan kehilangan menjadi sepenggal kata yang kini terukir di setiap kepala orang-orang yang mengenal mereka. Lebih dari apapun, hujan bulan Juni kini membanjiri ingatan dengan potongan cerita yang tak pernah habis tentang mereka. Mereka—sosok dibalik ketangguhan hidup orang-orang yang mereka kasihi.

Ada derai air mata yang tak pernah kering dari mata hati, saat sepasang mata tak lagi sanggup menganaksungai di tiap para wajah yang mengingat mereka. Betapa mereka memiliki tempat teristimewa dalam diri tiap orang-orang yang mereka kasihi. Ada bayang-bayang kerinduan yang menyelimuti setiap kepala, adakah cara mengobati para rindu yang kelak sesekali bertamu?

Barangkali menjaga api harapan hidup yang dicita-citakan oleh mereka adalah cara memperpanjang cerita tentang mereka. Mereka tetap hidup dan selamanya hidup di sanubari orang-orang terkasih.

 

Tetap tumbuh para pejalan kebenaran.[]

Komentar

Postingan Populer