Gadis Pembenci Cermin Bagian 4
![]() |
Malikha
memperhatikan Elang yang sedang membeli es krim di seberang jalan dengan perasaan
yang campur-aduk. Bagaimana lelaki aneh itu bisa tahu apa yang kualami,
batinnya. Ia masih membuka kembali halaman terakhir dan membacanya sekali lagi.
“Kau masih membaca halaman itu? Sudahlah, mari nikmati es krim dengan baik,”
Elang menggoyang-goyangkan es krim yang digenggamnya.
“Hmmm,
kau yang menulis surat itu? Kenapa?” tanya Malikha kembali. “Astaga, sedari tadi
kita berdua terlalu bertanya tentang surat itu. Baiklah, aku akan menjawab tapi
kau harus berjanji padaku untuk harus menjawab pertanyaanku pada malam itu,
Malikha.”
Elang
membetulkan jaket kebesarannya, sembari menatap jalan raya yang sudah disesaki
oleh manusia dari segala umur yang sedang berlalu-lalang membeli aneka barang untuk
dipakai nanti saat malam cahaya cermin. “Begini, aku ingin minta maaf juga
sebelumnya. Aku telah beberapa kali mengamatimu dari jauh. Saat, lomba foto
bersama yang diadakan di sekolah. Aku tak sengaja menemukan dirimu melarikan diri
dari teman-temanmu. Dan tanpa sengaja mendengar cerita mereka tentangmu. Malam itu,
aku sedang mencari topi yang terjatuh di tepi Sungai Waihifa dan tak sengaja
bertemu dirimu di sana.
Malikha
dengan menundukkan kepala begitu saja saat mendengarkan cerita Elang. Es krim
yang telah digenggamnya perlahan mencair. “Makan dulu es krimnya. Aku sudah
membelinya pakai uang jajan harianku,” perintah Elang yang sedari tadi memperhatikan
jalan sembari mencuri pandang padanya.
“Maaf,
kelupaan.”
“Baik,
jadi setelah itu saya beberapa kali berjalan di depan rumahmu untuk memastikan
kau baik-baik saja. Sayangnya, aku lebih sering melihat ibumu yang yang keluar-masuk
rumah. Saat pagi tadi, aku disuruh Kakekku untuk membeli kayu untuk dibikin
meja di toko Kayu. Aku berpapasan dengan Ibumu saat sedang membayar. Tapi, Ibumu
belum mengambil barang yang dibelinya karena tangannya penuh dengan belanjaan.
Jadi, Ibumu memilih menitip barang itu dan akan diambil nanti oleh kau,” jelas
Elang tak memedulikan apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan berambut sebahu
di sebelahnya.
“Jadi,
itu alasan kau menulis itu? Dan meletakkan buku di bawah bangku ini? Demi apa?”
Malikha hampir memuntahkan sepasang mata hitamnya. “Demi cermin cahaya bulan. Hahaha.
Aku tak bermaksud apa-apa, hanya saja ada hal-hal yang mengusikmu saat
mendengar cerita tentangmu. Yang menurut aku, benar tidaknya hanya kau yang
paling tahu. Si Malikha yang membenci cermin, si paling anti malam perayaan
cermin cahaya bulan, si paling memilih sendiri membaca buku-buku di perpustakaan
sekolah. Hingga namanya bisa ditemukan di daftar peminjam di hampir sebagian
besar buku-buku di perpustakaan.”
Air
mata lagi-lagi lolos dari sepasang mata hitam Malikha yang lagi. Ternyata selama
ini, ada orang-orang yang diam-diam memperhatikannya tanpa pernah disadari. Ia terlalu
terjebak dengan suara-suara yang di dalam kepalanya, hingga lupa kalau masih
ada orang yang peduli dengan dirinya.
Malikha
mengembuskan napas, “Saat kecil, aku sangat antusias saat menyambut malam
cermin cahaya bulan. Malam itu, aku ingin pergi dengan kedua orang tuaku. Sayangnya,
malam itu menjadi malam terakhir mereka bersama sebagai pasangan yang pernah
saling mencintai. Mereka bertengkar hebat, sangat hebat melebihi hari-hari
sebelumnya yang pernah terjadi. Ibu bahkan melempar barang-barang kesayangannya
ke segala arah. Bapak juga begitu, ia melempar jauh gelas yang mengenai cermin
yang saat itu aku pakai untuk bercermin. Setelah itu, aku membenci cermin saat
melihat bekas wajahku sendiri. Aku benci diriku setiap kali melihat cermin
karena mengingatkanku pada peristiwa yang masih susah payah untuk aku terima.”
Ia tak
berani menatap Elang. Walaupun lelaki itu sedari tadi hanya memilih diam dan
mendengarkan curahan hatinya, di antara kebisingan kendaraan dan manusia yang
berlalu-lalang. “Tapi satu hal yang harus kau tahu, apapun yang pernah terjadi
padamu bukanlah kesalahan dirimu. Itu adalah kesalahan orang dewasa, dan kita
sebagai anak-anak tak berhak untuk menanggung derita itu. Maaf, telah membuatmu
membuka cerita lama yang tak seharusnya kau bagikan pada orang yang baru kau
kenal belakangan.”
“Kau sudah
mengenalku. Dari tulisan itu, aku menjadi sadar. Membenci diriku bukan hal
baik. Aku membenci diriku hingga lupa, kalau Ibuku juga korban sama seperti
diriku. Ia juga sedang berusaha bangkit untuk menjalani hari-harinya kembali
bersamaku, tanpa Bapak di sisinya. Ibuku melewai masa sulitnya, dan aku sibuk
menyalahkan diriku sebagai sebab atas apa yang terjadi,” kata Malikha pelan. “Buku
ini, bolehkah aku pinjam untuk dibaca di rumah?” Ia menatap Elang ragu.
“Tentu,
buku itu aku sengaja bawa untukmu. Aku hanya tak ingin kau kehilangan masa mudamu
hanya karena luka di masa kecilmu yang belum selesai. Tak apa-apa menjadi tak baik-baik
saja dengan apa yang pernah dialami.” Elang tersenyum memamerkan lesung
pipinya. “Tapi, kau benar-benar dewasa dari usiamu. Jangan-jangan kau sudah
berusia duapuluhan?” tebak Malikha.
“Yang
benar saja. Kita satu angkatan beda kelas. Sepertinya, mulai sekarang kau harus
rajin-rajin bersosialisasi agar bisa mengenal teman-teman seangkatan. Baiklah,
aku harus segera pulang. Kakekku bisa memarahiku karena sudah membuatnya
menunggu dari tadi. Bye,” Elang bergegas mengambil kayunya yang diletakkan
di lantai dan pergi begitu saja. Saat hendak menyeberang jalan, ia membalikkan
badan melambai pada Malikha.
Terbit
senyum di wajahnya Malikha. Astaga, aku sudah berjanji untuk tidak berlama-lama
di luar rumah, batinnya. Ia pun juga bergegas pulang dengan langkah kaki
yang ringan. Seperti ada yang telah mengeluarkan dirinya dari kurungan masa
lalu. Jalanan tak lagi terlihat menyedihkan seperti dulu. Cermin yang ada di
persimpangan jalan tak lagi semenakutkan itu. Malikha sejenak berhenti. Mendekat
pada cermin jalan dan melihat pantulan dirinya di dalam cermin itu sendiri. Apa
yang dikatakan oleh Elang memang benar. Satu-satunya cermin yang sesungguhnya
yang menunjukkan kesejatian manusia berada di cermin hati. Cermin yang ada di
luar diri hanya menampakkan tampilan luar diri saja, bukan seutuhnya dirinya.
Hai,
Malikha. Lama tak berjumpa. Mari berjumpa kembali pada malam cahaya cermin,
batin Malikha pada dirinya sendiri.[]
—Selesai


.jpeg)
Komentar
Posting Komentar