Gadis Pembenci Cermin Bagian 2
![]() |
Anak lelaki itu menatap tajam ke arah Malikha.
“Berhenti
menetapku seperti itu. Rasanya menakutkan,” sanggah Malikha menahan kesal.
“Baiklah,
di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang. Ini sudah sangat larut untuk anak
perempuan sepertimu berkeliaran di tepi sungai. Benar-benar bodoh, kau ingin
mati di tangan orang asing? Kau tidak tahu, kalau di sini seringkali menjadi
tempat kejahatan. Karena jauh dari pemukiman rumah penduduk.”
Anak
lelaki itu segera menyuruh Malikha berjalan di depannya. Sepanjang perjalanan,
hanya terdengar langkah kaki mereka berdua. Tak ada obrolan di antara mereka
berdua. Yang ada hanyalah kicauan burung yang berseloroh di sana-sini,
anjing-anjing yang melolong dari di seberang sungai. Dan tentu saja angin yang
menari kesana-kemari membawa serta hawa dingin yang menjalar.
“Hei,
Kau belum menjawab pertanyaanku? Apakah kau sedang tak baik-baik saja?” tanya
anak lelaki itu.
“Aku…
aku baik-baik saja? Kenapa kau bertanya seperti itu? Bukankah seharusnya aku
yang harus bertanya seperti itu padamu? Lelaki aneh yang bersembunyi di semak
belukar.” Malikha berjalan dengan mengarahkan lampu senter ke arah jalan raya. Astaga
pria yang benar-benar aneh, batinnya.
Setiba
di kompleks rumahnya, Malikha ingin mempercepat langkahnya. Ia makin yakin kalau
lelaki itu bagian dari geng remaja nakal yang sering keluyuran pada tengah
malam. Mencari korban untuk melakukan tindakan kriminal. Namun, lelaki yang sedari
tadi berjalan di belakangnya itu lebih banyak diam. Hanya bunyi langkah kakinya
yang terdengar dan sesekali berdeham memecah kesunyian di antara mereka.
“Sampai
di sini saja. Rumahku di sebelah sana,” tunjuk Malikha ke salah satu rumah ke
arah utara. Tanpa basa-basi, ia melarikan diri sekuat tenaga meninggalkan anak
lelaki itu seorang diri.
“Dasar
gadis lampu aladin! kau sudah membuang-buang waktuku dengan keinginan konyolmu.
Sepertinya kita takkan bertemu lagi,” sungut anak lelaki itu.
***
Malikha
tak membaca buku yang telah diambilnya di perpustakaan untuk dibaca di rumah. Apakah
lelaki itu baik-baik saja semalam? Dia terlihat sebagai orang baik, batinnya.
Ia berusaha mengeleng-gelengkan kepala sembari memejamkan matanya, berharap bayangan
lelaki aneh itu segera memudar dari ingatan.
Buku yang
sudah digenggamnya tak lagi menarik untuk dibaca. Kini, ia hanya berdiam diri
di rumah. Menatap orang-orang yang menyesaki jalanan dengan aneka ornamen cermin.
Sebentar lagi, Perayaan Cermin Cahaya Bulan akan dimulai saat menjelang malam
purnama. Konon, menurut kepercayaan turun-temurun, orang-orang yang mengarahkan
cermin ke arah purnama dan melihat pantulan cahaya itu dipercaya akan membuat
mereka bertemu orang-orang baik sepanjang hidup mereka, bahkan ada pula yang
bertemu belahan jiwanya melalui perayaan itu.
Pengumuman
perayaan pun telah digaungkan di saluran radio. Malikha hanya mendengar, kemudian
membaca buku yang sedari tadi tak lagi diminati untuk dibaca. Ia iri dengan
orang-orang yang bisa menatap cermin selama mungkin. Ada juga yang orang-orang
yang memiliki kebiasaan bercermin hingga mengoleksi aneka bentuk cermin. Ia ingin
memiliki cermin sebagaimana teman-temanya, tapi melihat wajahnya pun ia benci.
Tak ada
yang menarik dari hidupnya, selain mencintai buku-buku yang kerapkali dipinjam
di perpustakaan sekolah, hingga mempercayai mitos lampu aladin yang membuatnya
dikatai orang bodoh dari lelaki aneh itu.
“Mali,
bisa minta tolong ke toko kayu yang berada di persimpangan jalan yang
bersebelahan dengan tokoh roti kenangan?” teriak Ibu Malikha dari dapur.
Malikha
berjalan gontai ke luar kamar. Menatap ibunya yang sedang meletakkan tas belanja
dengan banyak barang di atas meja. “Untuk apa, Ibu? Ada barang yang ingin ibu berikan
pada Nenek yang dibeli di toko kayu?” tanya Malikha sembari menguncir rambut
keritingnya.
“Ah,
iya, iya. Ibu ingin memberikan Nenek hadiah untuk perayaan cermin cahaya bulan lusa
malam nanti. Ibu ingin memberi Nenek cermin yang dilapisi kayu yang disukainya.
Dan ada juga yang ingin ibu berikan padamu,” jawab Ibu Malikha hati-hati.
“Apa
yang ingin Ibu berikan padaku? Cermin? Bukankah aku tahu aku benci cermin?”
kesal Malikha. Ia menatap tajam ke Ibunya yang membelakanginya. “Mali, kamu
sudah berusia 18 tahun, kamu harus tahu cermin tidak semenakutkan itu. Nak, kamu
harus tahu. Menatap cermin adalah hal yang manusiawi. Kamu harus berhenti
menghindari cermin. Kamu tahu, Mira membencimu hanya cuman karena kamu takut
kamera. Nak, kamu sedang berada di fase awal masa mudamu. Hal yang kamu pikir
itu menyebalkan, tak seperti itu. Kamu harus membuka diri.”
Malikha
terdiam dengan kata-kata Ibunya. “Pergilah, ini uangnya. Segera pulang setelah
mengambil pesanannya. Jangan lama-lama di luar rumah. Pastikan kamu pulang
tepat waktu.”
Bersambung[]


.jpeg)
Komentar
Posting Komentar