Gadis Pembenci Cermin Bagian 3

 

Pinterest

Malikha tak sengaja menemukan buku dengan sampul gambar cermin berjudul Aku Cinta Diriku yang tergeletak di bawah bangku kursi kayu, tak jauh dari toko yang baru saja didatanginya untuk mengambil pesanan Ibunya untuk hadiah sang Nenek. Kenapa ada buku ini di sini? Batinnya.

Apakah aku harus menunggu pemilik buku ini? Sepertinya buku ini penting bagi pemiliknya hingga dilapisi kertas pelindung buku. Tapi, kalau pemiliknya tidak datang, apakah aku harus membawa pulang buku ini bersamaku? Entahlah.

Malikha memilih duduk sejenak di bangku itu, sembari membuka lembar demi lembar buku berwarna biru langit dengan kertas telah menguning kecoklat-coklatan. Ia membolak-balik halaman mencari nama pemiliknya. Tapi nihil. Pada halaman terakhir buku itu, ia menatap lama membaca tulisan itu hingga tanpa sadar, air mata menetas dari sepasang matanya.

Sebuah surat untuk siapapun yang merasa dirinya tak sedang baik-baik saja

Engkau tahu, tak ada manusia yang sempurna. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tak ada gunanya memakai kacamata orang lain untuk melihat diri sendiri, dan membandingkan diri dengan kacamata itu. Barangakali, satu-satunya yang bisa kita gunakan untuk melihat diri kita dengan sesungguhnya adalah cermin. Tapi, bukan sembarang cermin. Karena, cermin yang biasa engkau lihat dengan sepasang matamu bukanlah cermin yang menggambarkan kesejatian dari dirimu. Akan tetapi, cermin yang berada di dalam hatimu. Ialah cermin sesungguhnya untuk menatap dirimu. Cermin di hatimu takkan pernah berbohong akan dirimu yang seutuhnya.

Lantas, kenapa begitu membenci dirimu sendiri? Hanya karena engkau melihat dirimu dari cermin yang berada di luar dirimu daripada dirimu. Bukankah cermin diciptakan untuk membantu manusia untuk mengenali dirimu dari hal-hal yang tak bisa dilihat dari sepasang mata ini? Jadi, untuk apa membenci dirimu dari apa yang nampak pada cermin? Engkau tahu, lebih dari apapun di dunia, engkau berharga bagi dirimu maupun juga bagi semesta raya. Tanpamu, setiap cerita dari dalam perjalanan hidup setiap orang yang berada di sekelilingmu tak akan menjadi cerita yang benar-benar menarik.

Maukah engkau berjanji padaku? Berhenti membenci cermin, karena engkau tak benar-benar membenci dirinya. Akan tetapi, yang engkau benci adalah dirimu hanya karena tak terlihat sama di depan cermin sebagaimana orang lain. Jika kamu membenci dirimu sendiri, siapa orang yang paling tersakiti oleh kebencian itu? Engkau tahu, seburuk apapun penampilan luar dirimu, bukan akhir dari hidupmu. Mari, bercermin untuk menjadi orang yang lebih baik di masa akan datang.

Tertanda,

Manusia aneh dari Hutan Kenangan.


Sepasang mata Malikha masih berurai air mata saat membaca ulang tulisan itu. Seperti ada sesuatu yang keluar dari dalam dirinya, karena telah lama dipendam oleh dirinya tanpa ada yang tahu tentang perasaanya. Ia yang harus hidup dengan bayangan kelam dari masa lalunya. Ia tak pernah menginginkan untuk memiliki bekas luka permanen di wajahnya dari kejadian yang tak ingin ia ingat sepanjang hidupnya.

Flashback

Malikha kecil tak pernah tahu apa itu pertengkaran ala orang dewasa akan seperti apa? Ia hanya melihat kedua orang tuanya saling melempar barang apapun yang ada berada di dekat mereka. Ibunya yang bisa dengan mudah melempar gelas hingga beragam piring-piring hingga sepasang tangan yang biasanya memeluk dirinya berubah dipenuhi darah yang menetes mengotori lantai. Bapaknya yang tak kalah seperti ibunya juga sama. Melempar apapun yang ada di hadapannya. Tak tanggung-tanggung, melempar figura foto mereka bertiga ke arah ibunya dengan meneriakkan daftar nama penghuni kebun binatang sekencang-kencangnya.

Ibunya, seberapa banyakpun telah disakiti oleh lelaki itu. Masih memilih bertahan demi kebaikan Malikha. Suatu hari, perang di antara mereka berdua terjadi lagi. Dan makin membesar. Malikha yang memilih mengungsikan diri ruang keluarga yang agak jauh dari kedua orang tuanya. Sayangnya, tepat di hadapannya cermin seketika menjadi buram.

 

“Astaga, ini bukuku!” seru seseorang menyadarkan Malikha dari lamunan masa lalunya. Ia mendongakkan kepala, “Ya ampun, bukankah kau lelaki aneh yang bertemu denganku di tepi sungai Waihifa? Jadi, ini bukumu?”

“Benar, kau bisa temukan namaku tertulis di halaman ke 107 sebagai buktinya jika kau tak percaya. Di situ juga ada fotoku. Untuk apa aku berbohong?” sela lelaki itu. Malikha memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Mengenakan jaket kebesaran dengan rambut acak-acakan, tapi tak bisa menutupi karismanya dari lesung pipi kananya yang terlihat jelas saat ia tersenyum tipis.

“Namamu Elang Airlanggaputra?” tanya Malikha pada lelaki yang telah duduk di sebelahnya. “Malam itu, kau seharusnya mengucapkan terima kasih karena aku sudah menemani pulang. Bukan melarikan diri begitu saja tanpa ba-bi-bu.”

Malikha tersenyum masam menyadari kebodohannya malam itu, “Maaf Elang, aku sudah berprasangka buruk padamu dan juga berterima kasih sudah mengantarku pulang. Kalau malam itu kita tak pernah bertemu. Entahlah, apa yang akan terjadi padaku.”

 “Jadi, apakah saat selesai membaca halaman terakhir itu kau sudah menyadari kalau tak apa-apa menjadi tak baik-baik saja,” tanya Elang pelan. Namun, Malikha seketika terdiam.


Bersambung[]

Komentar

Postingan Populer