Cerpen Tiga Hari Mencari Cermin Ajaib

 Bagian I

Gambar dari Canva

    Usiaku kini telah menginjak delapan belas tahun yang artinya aku sudah seharusnya terbiasa menatap para cermin berlama-lama. Sayangnya, seluruh penduduk desa tahu kalau aku sangat takut pada cermin yang kutemui di mana-mana. Mulai dari cermin yang berjalan di teras rumah, di tepi jalan, pasar, hingga di depan sumur untuk menimba air. Iya, negeri kami diawasi oleh para segerombolan cermin ajaib yang sesekali menegur para penduduk desa yang tidak bisa menjaga penampilan dengan baik.

Apapun itu penampilan adalah aturan mutlak yang harus ditaati oleh seluruh penduduk desa. Setiap kali melihat para cermin, seketika aku akan bergegas melarikan diri sejauh-jauhnya. Aku benci cermin, karena mereka hanya mau berkata baik pada orang-orang yang tetap menjaga penampilan sebaik mungkin, berbeda dengan orang-orang yang tak berpenampilan baik yang ada hanya akan mengalami berbagai hukuman maupun cacian bertubi-tubi.

Dalam peraturan di desa kami, penduduk dibagi menjadi dua golongan. Pertama, golongan tinggi yang berisi orang-orang berpenampilan menarik dan memiliki kuasa. kedua, golongan rendah yang orang-orang yang berpenampilan biasa-biasa dengan tak sedikitpun pernah mengenyam didikan ala orang golongan tinggi. Dari dua golongan ini, ada banyak perbedaan perlakuan yang diterima oleh mereka. Orang-orang golongan pertama menduduki jabatan-jabatan penting di desa, sedangkan golongan kedua lebih banyak mengurusi hal-hal yang bersifat domestik, bukan publik sebagaimana golongan pertama.

Seperti aku yang kini hanya sibuk berjibaku menjaga toko buku dan alat tulis. Padahal ingin sekali rasanya menjadi petugas pencatat aktivitas penduduk desa di balai desa. Sayangnya, aku tidak masuk kategori itu. Walaupun aku sudah bisa menulis berbagai catatan itu. Ah, seandainya aku bisa menghilangkan para tentara cermin gila itu! batinku.

***

“Kau tak bisa di berada di sini. Silakan enyah dari sini! Dasar golongan rendah!” teriak salah satu Cermin yang sedang menghadang seorang Nenek di bahu jalan.

Aku buru-buru berlari ke arah perempuan itu, tapi urung. Aku tak berani menatap pantulan para Cermin yang begitu menakutkan. Lebih baik di sini, menyusun buku-buku yang bisa selesai kukerjakan. Aku hanya bisa berharap Nenek malang itu baik-baik saja. Walaupun sepertinya aku ragu.

Seperti dugaanku benar, sekarang aku malah di sini. Berjalan mendekati bahu jalan, sambil menutup wajahku dengan sepasang tanganku. Entahlah, darimana aku mendadak jadi pahlawan amatiran seperti ini.

“Cermin, tolong hentikan. Apakah engkau tak kasihan memarahi seorang Nenek? Lihat! Nenek ini sudah tua. Untuk berjalan pun dibantuk tongkat kayu. Tak ibakah engkau pada dia?” ujarku memalingkan wajah ke arah lain. Aku bisa menderita kalau si Cermin gila ini menyuruhku menatapnya.

“Apa? Hei gadis kecil! Engkau sudah tau atura di desa ini bukan? Dilarang melintasi jalan yang hanya bisa dilewati oleh penduduk golongan tinggi!!! Nenek ini bukan hanya melanggar aturan itu, tetapi juga bukan penduduk desa ini. Ia harus diusir atau menjauh dari jalan utama!” teriak si Cermin tanpa bersalah barang sedikit pun.

Aku hanya bisa mendengar dan menjauhkan diri barang sejengkal dari si Cermin yang seperti sudah benar-benar sama gilanya dengan aturan aneh di desa ini.

“Palingkan wajah kau ke arahku. Kenapa sedari tadi engkau tak menatap diriku, Hah!!! Menutup muka dan memalingkan wajah dari Cermin yang sedang berada di depanmu!” Jantungku seketika melompat-lompat tak terkendali. Bulir-bulir keringat entah mengapa mulai membanjiri wajahku.

Si Cermin berjalan mendekat padaku. “Cermin tak tahu diri, pergi engkau! Kalian para cermin lebih menyeramkan dari binatang buas di hutan kenangan,” hardik Nenek mengusir si Cermin.

“Ternyata salah satu penduduk golongan rendah. Pantas, tak berani menatapku. Golongan yang selamanya tak pernah bisa menjadi golongan tinggi. Lihat saja penampilan dan kelakuan kalian, tak pantas bersanding dengan golongan tinggi. Bahkan, tak pantas untuk menatap kami dan tak pantas dipantulkan tampilannya karena hanya akan menodai kesucian kaca yang ada dalam diri kami para tentara Cermin negeri ini.” umpat si Cermin sebelum pergi begitu saja.

Badanku seketika lemas, untung ada Nenek yang mengenggam erat tubuhku. “Maafkan aku, Nek. Karena tidak membela Nenek dari si Cermin bermulut jahat itu, malah Nenek yang menolongku.”

“Tidak apa-apa, Nak. Engkau baik-baik saja?” tanya Nenek sambil membantu mendudukkanku di bangku panjang di tepi jalan. “Aku baik-baik saja, Nek. Aku hanya trauma melihat si Cermin,” jawabku tersenyum lemas.

Nenek itu membalas senyumku. Ia menatapku lembut, sama persis seperti Nenek dan Kakekku menatapku. “Nak, kenapa engkau begitu takut pada cermin hingga tak berani melihat cermin?”

“Dulu aku pernah….,”

 

Bersambung[]

Komentar

Postingan Populer