Menjadi Manusia Seutuhnya
![]() |
| Gambar dari Pexels |
Nelson Mandela pernah berkata, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Sepenggal kalimat telah tertanam di kepala saya jauh-jauh hari sebelum mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan. Saat duduk di bangku kuliah, pemaknaan pendidikan semakin begitu kompleks. Sebagaimana nasehat seorang kawan yang mengatakan kalau pendidikan bertujuan mendidik para insan untuk menjadi manusia yang memanusiakan sesama.
Lantas
sudahkah dengan pendidikan menjadikan kita manusia seutuhnya? Hal tersebut yang
kerapkali memancing isi kepala saya untuk saling berdebat dengan diri sendiri.
Seperti apakah manusia seutuhnya? Apakah ketika seseorang telah menjadi
manusia, otomatis telah menjadi manusia? Ataukah menjadi manusia adalah proses
sepanjang perjalanan hidup manusia itu sendiri? Benarkah menjadi manusia tak
diukur dari derajat pendidikan yang diperoleh? Jadi, seperti apakah manusia
yang seutuhnya itu?
Manusia
seutuhnya dalam pandangan Islam, mengacu pada diri manusia yang terdiri dari
aspek lahir dan batin, yang mana tubuh dan jiwa saling mempengaruhi satu sama
lain. Namun berdiri sendiri. Dua aspek tersebut tak bisa dilepas-pisahkan satu
sama lain, hal yang menandakan bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh manusia
bukan hanya menjadi faktor utama untuk menjadi manusia seutuhnya, karena ada
aspek yang lain yang juga berperan penting yakni batin manusia—hati.
Menurut
pandangan Ayatullah Murtadha Muthahhari, Manusia seutuhnya dikenal sebagai
manusia insan kamil yang berarti manusia sempurna. Dalam literatur
Islam, tokoh pertama yang memakai istilah manusia insan kamil adalah Muhyiddin
Ibnu Arabi. Dalam konteks manusia insan kamil, dijelaskan bahwa konsep mengenai
keberadaan manusia yang bukan hanya sebagai manusia biasa secara ragawi, tetapi
dibalik itu manusia mengemban besar dalam mengkaji dirinya sebagai mahluk yang
senantiasa menyempurna dari waktu ke waktu.
Dalam
hal ini, Ayatullah Murtadha Muthahhari menjabarkan bahwa perjalanan manusia
ialah perjalanan menemukan dirinya sendiri. Bukan dalam tataran materi semata,
melainkan juga secara lahiriah dan batininiah, yang melingkupi sisi akal dan
hati manusia yang turut mempengaruhi perjalanan spiritual manusia. Sebab,
sebagaimana kita tahu, penyakit hati yang ada dalam diri manusia bukan hanya
menggaburkan diri. Melainkan juga merusak jiwa manusia secara perlahan-lahan
tanpa pernah disadari oleh manusia. Manusia dengan akalnya bisa berproses
menuju kesempurnaan dari sisi kebinatangannya dalam dirinya. Sisi Binatang yang
berkaitan dengan makan, minum, maupun hal-hal yang bersifat materialistik.
Lebih
lanjut, Ayatullah Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa sejatinya manusia insan
kamil ialah manusia yang bukan hanya diukur dari sisi akal yang dimiliki
menjadi pembeda dari binatang. Akan tetapi, karakter insan kamil yang
terdapat dalam diri manusia bukan hanya memiliki kualitas akal tertinggi,
melainkan juga keimanan. Sebab, akal yang dimiliki manusia yang menjadi sumber
penalaran manusia dalam berpengetahuan, bukan menjadi indikator keimanan yang
bersemayam dalam diri manusia.
Begitu
pula dalam beberapa aliran pandangan lainnya yang berbeda dalam menafsirkan
manusia insan kamil. Ada pendapat yang memandang rendah akal dan hanya
menganggap hati manusia sebagai kunci utama untuk menjadi manusia seutuhnya.
Upaya menjauhkan diri hal-hal duniawi dan hanya berfokus pada diri sendiri
dengan proses penyucian jiwa dianggap sebagai syarat mutlak untuk menjadi
manusia seutuhnya. Namun hal tersebut dikritik oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari
karena menurutnya, Islam bukan hanya terdiri dari hal-hal yang berkaitan dengan
hati, tetapi juga akal. Dalam artian, dua hal ini berperan penting dalam proses
penyempurnaan manusia.
Memang benar, musuh utama manusia adalah nafs-nya sendiri. Manusia harus terus bertarung melawan dominasi nafs, agar tak tergelincir pada pemujaan pada ego dan diri sendiri yang telah menjadi penyakit alamiah yang ada dalam diri manusia. Namun, apakah ketika melepaskan diri dari jeratan ego telah bebas untuk jadi manusia seutuhnya? Hal ini yang kemudian dikritik oleh penulis tentang beberapa aliran pemikiran tertentu yang hanya berfokus pada sisi individual manusia, padahal menurutnya, manusia seutuhnya masih memiliki tanggung jawab sosial yang berkaitan erat dengan kemanusiaan.
Bahwa sejatinya, kemanusiaan juga bagian dari perjalanan manusia dalam proses
penyempurnaan diri. Dalam artian, bergerak untuk terus memperbaiki kualitas
diri untuk menjadi manusia yang terus berproses tanpa berkesudahan. Maka,
proses tersebut haruslah dimaknai sebagai ikhtiar mengenali diri sendiri.
Karena, sebelum manusia menjadi manusia yang seutuhnya, mereka harus lebih dulu
mengenali diri mereka sendiri, sebagaimana ungkapan Imam Ali Bin Abi Thalib, “Hai
manusia! Cari dan temukanlah dirimu, karena ia lebih berharga dari segala yang
kau hilangkan.”[]
Wallahul a’lam
—Sumber Buku Manusia Seutuhnya karya Murtadha Muthahhari


.jpeg)
Menjadi manusia seutuhnya dengan memanusiakan manusia. Sebab sejatinya manusia diciptakan sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan dan menyejahterakan bumi.
BalasHapusSiapa sebenarnya Ayatullah Murtadha Muthahhari penulis buku yang kakak jadikan referensi tulisan ?
BalasHapusTernyata harus self love dulu ya, biar tetap waras
BalasHapusSetuju
HapusManusia seutuhnya bisa memahami tujuan penciptaannya di muka bumi
BalasHapusManusia yang sesungguhnya adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain
BalasHapusManusia yang baik adalah yang lebih mengenal dirinya sendiri sebelum ia berkomentar pada orang lain.
BalasHapusTopik yang menarik, menjadi manusia seutuhnya. Sangat tidak familiar dengan penulis Ayatullah Murtadha Muthahhari, tapi membaca sedikit ulasan bukunya di sini, jadi penasaran juga sm bukunya.
BalasHapusSuka sma quote di paragraf terakhir. Jd inget pas dulu awal masuk kerja, tmnku prnah blg, dia dtg k tempat ini bkn cm Sekedar kerja tp belajar memanusiakan manusia. Dan aku sepakat sm hal itu.
BalasHapus